Makalah: Hukum Agraria
BAB I
PENDAHULUAN
I. LATAR BELAKANG
Indonesia adalah negara agraris, tanah
merupakan hal yang mutlak yang harus dimiliki oleh masyarakat agraris. Karena
Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagian besar rakyatnya menggantungkan
kehidupannya pada tanah, dalam hal ini berada pada bidang pertanian. Masalah
tanah, terutama penguasaan tanah merupakan masalah klasik yang terjadi dalam
masyarakat agraris. Dalam permasalahan tersebut salah satu pemecahannya adalah
Landreform. Landreform dianggap mampu memecahkan masalah agrarian yang ada.
Landreform berasal dari bahasa Inggris yaitu
“land” dan “reform”. Land artinya tanah, sedang reform artinya perombakan atau
perubahan untuk membangun atau membentuk atau menata kembali struktur pertanian
baru. Untuk pelaksanaan prinsip-prinsip landreform yang sudah digariskan dalam
UUPA diperlukan peraturan palaksanaan, baik yang berupa Undang-Undang maupun
Peraturan Pemerintah.[1]
Atas dasar ketentuan UUPA diterbitkan peraturan
perundangan landreform yang bertujuan untuk mengadakan penataan penguasaan
tanah dan meningkatkan pendapatan serta kesejahteraan rakyat khususnya para
petani kecil secara adil dan merata, sehingga terbuka kesempatan untuk
mengembangkan diri mencapai kemakmuran sebagai bagian dari pembangunan nasional
untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
Dalam pengertian lain landreform berarti
program untuk melakukan tindakan-tindakan yang saling berhubungan satu
sama lain, yang bertujuan untuk menghilangkan penghalang-penghalang di bidang
sosial, ekonomi yang timbul dari kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam
struktur pertanahan.[2]
Banyaknya penghalang-penghalang sosial dibidang
pertanahan yang seringkali merugikan masyarakat, mendorong perlunya dilakukan
pembaruan agraria di negeri ini. Seiring dengan perkembangan zaman, pemerintah
sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam masalah agraria di Indonesia sudah
mulai meninggalkan makna dari diundangkannya UUPA. Sebagaimana negara
diwajibkan untuk mengatur pemilikan tanah dan memimpin penggunaannya, hingga
semua tanah diseluruh wilayah kedaulatan bangsa dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat
Namun, dalam kenyataannya tujuan tersebut sudah
dilupakan, banyak masyarakat kita khususnya petani, tidak merasakan kemakmuran
di bumi Indonesia. Masih banyak petani yang menggarap tanah yang bukan miliknya
sendiri. Sangat miris melihat pada dasarnya bumi Indonesia merupakan Negara
agraris yang mempunyai lahan yang luas, subur dan seharusnya diperuntukkan,
diolah dan digarap oleh para petani Indonesia. Sehingga penulis tergerak untuk
mengangkat masalah ini menjadi karya tulis yang nantinya diharapkan dapat
membantu perkembangan agraria di Indonesia.
2. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan pemaparan serta penjelasan yang
dikemukakan dalam latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah
adalah sebagai berikut :
1. Apa
sajakah obyek tanah dalam landreform di Indonesia?
2. Apa
sajakah organisasi pelaksana dari program Landreform?
3. Mengapa
landreform mengalami berbagai kendala dalam implementasinya?
BAB 2
PEMBAHASAN
- Obyek
Tanah Dalam Landreform di Indonesia.
Sebagaimana yang telah dijabarkan sebelumnya
bahwa landreform merupakan suatu program pemerintah dalam rangka pemerataan
kehidupan masyarakat, baik itu dalam hal pendapatan maupun penguasaan tanah.
Berdasarkan Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang
Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian, dinyatakan bahwa
tanah-tanah yang akan dibagikan dalam rangka landreform adalah
:
1. Tanah kelebihan dari
batas maksimum :
Pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui
batas merugikan kepentingan umum, karena berhubungan dengan terbatasnya
persediaan tanah pertanian, khususnya di daerah-daerah yang padat penduduknya,
hal itu menyebabkan sempitnya, kalau tidak dapat dikatakan hilangnya sama
sekali kemungkinan bagi banyak petani untuk memiliki tanah sendiri. Pasal 17
merupakan pelaksanaan dari ketentuan asas dalam pasal 7 ayat 1 dan 2. kemudian
pada ayat 3 bahwa tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum
tersebut akan diambil oleh pemerintah dengan ganti kerugian, untuk selanjutnya
dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan.[3]
2. Tanah-tanah absentee (guntai)
:
Pemilikan tanah secara absentee dipahami
sebagai pemilikan tanah pertanian yang pemiliknya berada diluar kecamatan yang
berbeda dengan lokasi tanah pertanian yang dimaksud. Pemilikan tanah yang
seperti ini dilarang oleh undang-undang, karena pemilikan tanah secara absentee
tersebut dianggap tidak efektif sebab pemilk tanah tersebut berada jauh di luar
kecamatan yang berbeda dengan pemiliknya, dan pemiliknya tidak dapat
mengerjakan tanah tersebut secara aktif[4]. Larangan
absentee tidak berlaku apabila tempat tinggal pemilik berbatasan langsung
dengan kecamatan tempat letak tanah walaupun berbeda kecamatan, karena walaupun
berbeda kecamatan masih dimungkinkan untuk mengerjakan tanahnya secara efisien.
Kemudian juga larangan tersebut tidak berlaku bagi pemilik tanah yang sedang
melaksanakan tugas Negara.
Materi yang terkandung dalam larangan tersebut
ialah diharapkan agar penguasaan tanah itu dapat dimanfaatkan secara aktif agar
tidak ada tanah yang tersia-siakan, karena masih banyak petani yang benar-benar
membutuhkan tanah untuk penghidupannya.
3. Tanah swapraja dan
bekas swapraja yang telah beralih kepada Negara :
Yang dimaksudkan tanah swapraja atau bekas
swapraja yang beralih kepada Negara adalah selain domein swapraja dan bekas
swapraja yang dengan berlakunya UUPA menjadi hapus dan beralih ke Negara, juga
tanah-tanah yang benar-benar dimiliki oleh swapraja, baik yang diusahakan
dengan cara sewa-menyewa, bagi hasil dan lain-lain sebagainya ataupun
diperuntukkan tanah jabatan dan lain-lainnya.[5]
4. Tanah lain yang
dikuasai langsung oleh Negara.
Tanah-tanah lain dalam hal ini seperti bekas
tanah-tanah partikelir, tanah-tanah dengan HGU yang telah berakhir waktunya,
dihentikan atau dibatalkan, tanah-tanah kehutanan yang diserahkan kembali
kepada Negara dan lain-lain.[6]
- Organisasi
pelaksana dari program Landreform.
Gunawan Wiradi menyatakan bahwa landreform
mengacu pada penataan kembali susunan penguasaan tanah, demi kepentingan petani
kecil, penyakap, dan buruh tani tak bertanah.[7] Demi
terselenggaranya program Landreform dibutuhkan pihak-pihak pelaksana untuk
menjamin terlaksananya serta terwujudnya tujuan yang telah ditentukan.
Berikut merupakan organisasi pelaksana
Landreform, yakni :
1) Panitia
Pertimbangan Landreform
Penyelenggaraan landreform menjadi
tugas dan tanggung jawab masyarakat dan pemerintah (semua departemen). Dalam
rangka kelancaran pelaksanaan tugasnya, pemerintah pada permulaan pelaksanaan landreform membentuk
Panitia Landreform di Tingkat Pusat, Daerah Tingkat I, Daerah
Tingkat Il, Kecamatan dan Desa. Panitia ini dibentuk berdasarkan Keputusan
Presiden No. 131 Tahun 1961 dan kemudian disempurnakan pada tahun 1964 dengan
Keputusan Presiden No. 263 Tahun 1964. Dalam perkembangannya kepanitiaan ini
tidak memenuhi harapan, sehingga dicabut dan sekaligus diganti dengan
organisasi baru yang disebut Organisasi dan Tata Kerja. Penyelenggaraan Landreform, yang
dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden No. 55 Tahun 1980. Perubahan penting
dalam Keputusan Presiden ini adalah mengenai semua dan wewenang Panitia Landreform beralih
dan dilaksanakan masing-masing oleh Menteri Dalam Negeri, Gubernur Kepala
Daerah Propinsi, Bupati/Walikota Kepala Daerah Kabupaten/Kota, Camat dan Kepala
Desa/Lurah yang bersangkutan.
Dalam pelaksanaan tugas sehari-hari, mereka
dibantu oleh sebuah panitia yang disebut Panitia Pertimbangan Landreform. Panitia
ini dibentuk di tingkat Pusat, Propinsi, Kabupaten/Kota. Tugas panitia ini
adalah memberi saran dan pertimbangan mengenai segala yang berhubungan dengan
penyelenggaraan landreform. Anggota panitia ini terdiri dari
unsur/wakil instansi pemerintah yang ada kaitannya dengan pelaksanaan landreform ditambah
wakil dari Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI).
2) Pengadilan Landreform
Untuk menyelesaikan perkara-perkara yang timbul
sebagai akibat pelaksanaan landreform dibentuklah
Pengadilan Landreform berdasarkan UU No. 1 Tahun 1964. Tetapi
kenyataannya pengadilan ini tidak dapat bekerja secara efektif. Berdasarkan UU
No. 7 Tahun 1970 Pengadilan Landreform ini dihapus. Apabila
terjadi sengketa yang berkenaan dengan Landreform, maka
penyelesaiannya dilakukan melalui:
(a) Peradilan Umum, berdasarkan UU No. 14
Tahun 1970 apabila sengketa itu bersifat perdata atau pidana.
(b) Aparat pelaksana landreform apabila
mengenai sengketa administrasi.
3) Yayasan Dana Landreform
Yayasan dana landreform merupakan
badan otonom yang bertujuan untuk memperlancar pengurusan keuangan dalam rangka
pelaksanaan landreform. Yayasan ini dibentuk berdasarkan Pasal
16 Peraturan Pemerintah No. 224 Tahun 1961 dan telah diambil alih oleh
Departemen Keuangan sejak tahun 1984. Selanjutnya sumber keuangan yayasan landreform ini
adalah:
(a) Dana pemerintah
(b) Pungutan 10% biaya administrasi
dari harga tanah yang harus dibayar oleh petani yang menerima hak milik atas
tanah redistribusi
(c) Hasil sewa dan penjualan tanah dalam
rangka pelaksanaan landreform
(d) Lain-lain sumber yang sah yang menjadi
wewenang Direktorat Agraria (sekarang Kantor BPN).
- Kendala
landreform dalam implementasinya.
Menurut buku Politik Hukum Agraria, yang
disusun oleh Dr. Herawan Sauni.,S.H.,M.S., pada asasnya yang menjadi akar
permasalahan penyebab tidak berjalannya ketentuan landreform di Indonesia
adalah factor politis, baik yang berkaitan dengan kondisi politik yang terjadi
di Indonesia, maupun perubahan strategi pembangunan yang terjadi di Indonesia
pasca UUPA. Situasi dan kondisi politik yang terjadi di Indonesia
khususnya setelah terjadinya pemberontakan G.30 S PKI tahun 1965 sangat
berpengaruh terhadap pelaksanaan UUPA khususnya program landreform, yang pada
saat itu telah berjalan lebih kurang 3 tahun. Sejak 1965 sampai dengan 1967
praktis program landreform tersebut tidak berjalan karena ada semacam stigma
bahwa program landreform identik dengan Partai Komunis Indonesia. Pengaruh
peristiwa G.30 S PKI 1965 yang kemudian memunculkan stigma bahwa landreform dan
UUPA sebagai produk komunis menyebabkan program landreform Indonesia tidak
dapat berjalan dengan baik. Sedangkan pada perubahan strategi pembangunan
agraria, adanya PJP I (Pambangunan Jangka Panjang Pertama) yang dalam
implementasinya dijabarkan melalui pembangunan jangka menengah (lima tahunan)
dan jangka pendek (tahunan).
[2]Tim penulis, 2001, HUKUM AGRARIA
INDONESIA Buku Panduan Mahasiswa, LEMLIT Unib Press, Bengkulu, hal.
152.
[3] Boedi Harsono, 2008, Hukum
Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan UUPA, isi dan pelaksanaannya, Djambatan,
Jakarta.
[4] Herawan Sauni, 2006, Politik
Hukum Agraria Kajian Atas Landreform Dalam rangka Pembangunan Hukum Ekonomi
Indonesia, Pustaka Bangsa Press, Bengkulu, hal. 321.
Comments