MENGUNGKAP PERAN PEMERINTAH DALAM KONFLIK AGRARIA DI MESUJI LAMPUNG
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Masalah
agraria menjadi salah satu isu penting yang diperbincangkan saat ini. Mengingat
makin banyaknya kasus-kasus konflik yang menyangkut agraria, sebut saja konflik
Mesuji di Lampung maupun konflik Bima Nusa Tenggara Barat. Kedua kasus tersebut
merupakan contoh sebagian kecil dari kasus konflik yang menyangkut masalah
agraria di daerah yang jarang kita ketahui. Namun, konflik agraria sejatinya
bukanlah hal yang baru di Indonesia. Sejak lama bahkan semenjak masa kolonial,
perebutan lahan telah terjadi antara petani dengan pemerintah maupun petani
dengan kelompok pengusaha.
Di
masa kolonial, sengketa lahan terjadi akibat adanya UU Agraria Kolonial Belanda
tahun 1870. Masalah ini berkisar pada mulai munculnya perkebunan-perkebunan
besar yang kemudian mulai menggusur lahan pertanian milik warga. Demikian pula
di masa pendudukan Jepang, lahan-lahan yang ditinggalkan oleh pemerintah
kolonial kemudian dikuasai oleh Jepang untuk menanam tanaman-tanaman yang
digunakan untuk kebutuhan perang. Rakyatlah yang menjadi korban, karena
merekalah yang dipaksa untuk melakukan pekerjaan tersebut. Pasca kemerdekaan,
mulai diatur undang-undang mengenai kepemilikan lahan. Pemerintah mengeluarkan
UU No. 5 tahun 1960 tentang pokok-pokok Agraria sebagai landasan utama dalam
melakukan reformasi agraria.
Usaha
untuk melakukan reformasi agraria nyatanya mengalami halangan yang cukup besar,
khususnya di masa pemerintahan Orde Baru. Adanya UU penanaman modal asing
menjadi tanda bahwa kapitalisme mulai masuk ke Indonesia. Tentunya hal tersebut
akan berimplikasi kepada mulai dibangunnya pabrik-pabrik dan menggusur lahan
pertanian milik warga. Konflik lahan pada akhirnya tidak bisa terhindarkan. Ada
dua bentuk konflik agraria yang umumnya terjadi. Pertama, konflik antara petani
dan swasta, terutama karena keluarnya HGU di atas tanah yang selama ini turun
temurun dikuasai oleh warga sekitar. Kedua, konflik antara petani dengan
pemerintah terkait dengan pembebasan lahan di atas tanah yang telah dikuasai
petani dan akan digunakan untuk pembangunan berbagai fasilitas umum. Walaupun
konflik agraria semakin memanas di masa orde baru, perlawanan yang dilakukan
oleh petani mengalami pasang surut. Hal tersebut dikarenakan tindakan represif
yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta melalui polisi dan TNI membuat
petani berpikir ulang untuk melakukan perlawan, supaya tidak timbul jatuhnya
korban jiwa yang lebih besar.
Pasca
reformasi, konflik agraria bahkan semakin masif terjadi. Hal ini muncul karena
ada reclaiming petani terhadap tanah-tanah yang dikuasai oleh swasta. Petani
menuntut haknya yang selama ini telah diambil oleh swasta maupun pemerintah.
Keadaan tersebut sama seperti apa yang terjadi di Mesuji, Lampung tepatnya di
daerah yang bernama register 45. Konflik antara petani dengan swasta yaitu PT
Silva Inhutani memperebutkan lahan seluas 43.000 hektare di kawasan register
45. Bahkan sempat terjadi kericuhan yang menyebabkan beberapa korban meninggal
dari kalangan warga masyarakat. Apakah sebenarnya penyebab dari konflik agraria
di Mesuji? Lalu bagaimana peran pemerintah dalam menyelesaikan kasus tersebut?
Kerangka
Teori
Konflik
secara umum didefinisikan sebagai suatu pertentangan atau perbedaan pendapat
antara dua orang atau lebih. Konflik selalu ada di setiap hubungan sosial,
karena masyarakat satu sama lain pada dasarnya mempunyai perbedaan. Perbedaaan
ini kemudian menjadikan potensi-potensi konflik di dalam setiap hubungan
sosial. Menurut Ted Robert Gurr, terdapat paling tidak empat ciri konflik
yaitu: (1) ada dua pihak yang terlibat, (2) merek terlibat dalam
tindakan-tindakan yang saling memusuhi, (3) mereka menggunakan
tindakan-tindakan yang bertujuan untuk menghancurkan, melukai, dan menghalangi
lawannya, dan (4) interaksi yang bertentangan ini bersifat terbuka sehingga
bisa dideteksi dengan mudah oleh pengamat yang independen.
Sementara
konflik politik merupakan salah satu bagian dari koflik sosial. Apa yang
membedakan antara konflik sosial dengan konflik politik? pertama adalah sifat
dari konflik politik yang selalu merupakan konflik kelompok. Konflik tidak
didasari atas perbedaan pendapat antar individu, melainkan telah menyangkut
masalah kelompok di mana kedua pihak mempertentangkan isu publik yang
menyangkut kepentingan banyak orang. Kedua, kata politik mengacu pada segala
kebijakan yang dibuat oleh pemerintah dan kedudukan oleh pejabat pemerintah.
Kedudukan pejabat pemerintah ini mengacu pada kekuasaan yang mereka miliki
untuk mengatur masyarakat dalam lingkup negara. Mereka juga mempunyai kuasa
atas pembuatan kebijakan yang mengikat kepada semua masyarakat.
Dalam
melihat konteks konflik agraria, penulis melihat ada beberapa teori konflik
yang relevan untuk menganalisis hal tersebut. Penulis mengambil konsepsi teori
konflik kelas yang dikemukakan oleh Karl Marx. Marx mengungkapkan dasar dari
timbulnya konflik adalah faktor ekonomi. Atas dasar tersebut maka pihak-pihak
yang berkonflik dapat diklasifikasikan menjadi dua kelas (kelompok), kelas
borjuis/kapitalis dan kelas proletar/petani. Kedua kelas ini dibedakan atas
dasar dari kepemilikan alat-alat produksi. Kelas borjuis mempunyai kuasa atas
modal dan alat-alat produksi sedangkan kelas proletar tidak memilikinya. Hal
tersebut menimbulkan kesenjangan yang sangat timpang antara kelas borjuis
dengan kelas petani/proletar. Kelas proletar selalu menjadi pihak yang
tertindas karena kekuasaan kelas borjuis yang sangat besar khususnya dalam
bidang ekonomi. Perbedaan kelas inilah merupakan faktor kunci dari konflik
kelas yang dikemukakan oleh Marx.
Konflik
kelas dari Marx digambarkan sebagai perjuangan kelas (class struggle) dari
kelas proletar untuk melawan penindasan dari kelas borjuis. Akhir dari konflik
ini menurut Marx adalah munculnya revolusi kelas yang menurut ramalannya
dimenangkan oleh kelas proletar. Konflik kelas ini menurut saya cocok untuk
menjelaskan masalah konflik agraria di Mesuji. Hal ini dikarenakan pihak-pihak
yang berkonflik adalah antara kelompok pengusaha (PT Silva Inhutani dan PT
BSMI) dengan pihak petani/kaum proletar. Dalam penjelasan berikutnya, penulis
akan menjelaskan apa saja faktor-faktor penyebab konflik tersebut dan juga
bagaimana peran pemerintah di dalamnya.
Kronologis
Konflik Agraria di Mesuji
Sengketa
lahan di Mesuji bermula di tahun 1990an memperebutkan lahan seluas 43.000
hektare di kawasan Register 45 di wilayah Kabupaten Mesuji, Lampung. Kawasan
ini sejatinya dikelola oleh PT Inhutani V, kemudian bergabung dengan PT Silva
anak usaha dari Sungai Budi Group sehingga berubah nama menjadi PT Silva
Inhutani. Pada tahun 1997, sejumlah warga yang mendiami kawasan tersebut mulai
menebangi tanaman yang ditinggal oleh PT Inhutani untuk membuka lahan. Pada
saat itu jumlah warga masih sedikit dan mulai berkembang di tahun 1999 dengan
banyaknya warga pendatang yang datang dari berbagai daerah seperti Lampung
Timur, Metro, Tulangbawang bahkan dari Pulau Jawa. Warga kemudian membuat
kapling-kapling dan dibagi ke sesama. Lahan tersebut digunakan untuk menanam
singkong sebagai mata pencaharian mereka.
Makin
lama kawasan ini kemudian semakin merambah daerah sekitarnya, hingga mereka
mendirikan desa sendiri bernama Desa Moro-moro yang terdiri dari Kampung Moro
Seneng, Moro Dewe, dan Moro-moro. Mereka mendirikan rumah-rumah, ladang singkong,
bahkan sekolah dan tempat ibadah. Kawasan ini kemudian semakin berkembang
hingga tahun 2003 banyak warga mulai membuka lahan kembali di wilayah Alpha 8
dan membuat perkampungan yang bernama Pelita Jaya. Warga di kawasan ini
kemudian dikoordinasi oleh sebuah organisasi yang bernama Pekat Raya. Warga
yang ingin tinggal di kawasan tersebut diharuskan membayar 3 hingga 15 juta
per-kapling sesuai luas dan lokasi lahan tersebut.
Keberadaan
para perambah yang semakin membesar ini membuat Pemerintah Lampung geram. Pemda
Lampung kemudian membentuk Tim Gabungan Perlindungan Hutan yang beranggotakan
Polisi, TNI, Jaksa, Pemerintah, Satuan Pengamanan Perusahaan dan Pengamanan
swakarsa. Tim ini kemudian mulai melakukan penggusuran terhadap warga di
kawasan register 45 tersebut di bulan September 2010. Dalam aksi penggusuran
tersebut setidaknya menyebabkan salah seorang warga bernama Made Asta tewas
tertembak peluru aparat kepolisian, dan satu lagi warga terluka terkena
tembakan di kakinya. Bentrokan ini terus terjadi seiring dengan penggusuran
yang dilakukan oleh Tim Gabungan sampai warga yang kesal memblokir jalan Lintas
Sumatra sebagai simbol perlawanan mereka.
Seperti
yang kita ketahui berita mengenai konflik di Mesuji banyak terjadi
kesimpang-siuran. Beberapa waktu yang lalu terdapat video pembantaian yang
dilakukan oleh petugas Perusahaan PT Silva Inhutani terhadap petani Mesuji. Hal
ini sempat membuat heboh karena video ini ada di situs jejaring sosial seperti
Youtube. Pada bulan Desember 2011, petani warga Pelita Jaya melaporkan kejadian
pembantaian ini kepada DPR RI. Selain itu, masalah konflik ini tidak hanya
meliputi perusahaan dengan para petani perambah, hal ini juga menyangkut dengan
klaim tanah ulayat di Register 45 Mesuji Lampung. Lembaga adat yang bernama
Megou Pak di Lampung memahami bahwa tanah ulayat/tanah adat sudah ada sejak
zaman nenek moyang mereka. Sehingga mereka mengklaim bahwa merekalah yang
berhak menguasai tanah tersebut karena tanah itu adalah warisan nenek moyang
mereka. Namun pemerintah kemudian memberikan hak penguasaan tanah tersebut
kepada PT tanpa sepengetahuan mereka, hal inilah yang memicu konflik antara
warga dengan perusahaan.
Sementara
itu, di titik konflik agraria lainnya terjadi di wilayah Kagungan Dalam,
Tanjung Raya terdapat perselisihan antara masyarakat dengan perusahaan bernama
PT Barat Selatan Makmur Investindo (BSMI). Puncak dari pertikaian ini adalah
pada tanggal 10 November 2011 terjadi penembakan oleh aparat dan mengakibatkan
salah satu warga bernama Zaelani tewas tertembak. Selain itu, terdapat korban
luka-luka yaitu berjumlah 7 orang akibat penembakan yang dilakukan oleh aparat
kepolisian.
Faktor-faktor
Penyebab Konflik Agraria di Mesuji
Kedua
kasus konflik agraria di Mesuji mempunyai pola yang sama, konflik terjadi antara
petani/warga sekitar, pengusaha, dan pemerintah. Dari berbagai sumber yang
penulis dapat setidaknya ada tiga hal yang menyebabkan konflik tersebut.
1.
Kebijakan Pertanahan yang Bersifat Kapitalistik
Konflik
agraria memang tidak dapat terlepas dari kebijakan pertanahan semasa Orde baru.
Pengambilan lahan-lahan milik warga yang kemudian diberikan kepada investor
untuk membangun pabrik-pabrik merupakan salah satu ciri khas kebijakan
pertanahan pada masa Orba. Pemerintah saat itu banyak mengeluarkan HGU diatas
tanah yang dikuasai rakyat untuk kepentingan ekonomi. Melihat keadaan tersebut,
petani sebenarnya telah melakukan perlawanan bahkan sampai ke ranah pengadilan,
namun hal ini selalu kandas ditengah jalan karena pemerintah yang tidak
berpihak pada petani. Pada akhirnya selama bertahun-tahun petani menjadi
kalangan yang tersubordinasi dari pemerintah maupun pengusaha.
Ketika
memasuki masa reformasi, perjuangan petani untuk mengklaim kembali tanahnya
mendapatkan titik terang. Jatuhnya sistem otoriter kemudian berganti menjadi
lebih demokratis memberikan harapan bagi petani untuk menuntut kembali haknya.
Namun, hal tersebut masih memiliki banyak hambatan. Pemerintah saat ini masih
cenderung memihak pada kepentingan modal. Rakyat kecil umumnya dinomorduakan oleh
pemerintah jika menyangkut masalah sengketa lahan tersebut. Sebagai contoh
dalam kasus PT BSMI dengan warga Kagungan Dalam, Mesuji Lampung. Hal ini
bermula sejak tahun 1994, PT BSMI mengajukan izin untuk mendirikan usaha di
wilayah tersebut. Kemudian mereka mendapatkan izin lokasi seluas 10.000 Ha
kebun inti dan 7.000 Ha kebun plasma dari Bupati Lampung Utara Nomor: PLU.
22/460-L/94. Untuk keperluan tersebut, PT BSMI diminta untuk mengganti rugi
tanah warga dengan harga Rp. 150.000 per-hektar.
Konflik
kemudian mulai terjadi setidaknya ada dua penyebabnya, pertama masyarakat
pemilik tanah tidak dilibatkan secara langsung dalam musyawarah penentuan nilai
harga tanah yang akan dibebaskan. Kedua, masyarakat tidak dilibatkan secara
langsung dalam pengukuran tanah. Hal tersebut menimbulkan kerancuan dalam klaim
tanah yang telah diberikan kepada PT BSMI. Sebenarnya masyarakat yang merasa
tidak puas telah mengadukan ke Komnas HAM, namun belum ada tindak lebih lanjut
untuk menangani kasus tersebut. Di situasi yang masih panas oleh konflik
tersebut, BPN (Badan Pertanahan Negara) memberikan HGU kepada PT BSMI atas
lahan seluas 9.513.0454 Ha melalui surat keputusan No. 43/HGU/BPN/97.
Berbagai
upaya petani untuk menuntut haknya tidak kunjung menemui hasil. Hingga pada tahun
2007, Pemda telah melakukan berbagai upaya untuk menyelesaikan konflik
tersebut, salah satunya dengan mempertemukan kedua belah pihak hingga memberi
peringatan kepada PT BSMI untuk melakukan pengukuran ulang terhadap lahan
tersebut. Namun usaha tersebut tidak menemui hasil, dan pihak PT BSMI tidak mau
menggubris peringatan tersebut.
2.
Pluralisme Hukum
Faktor
kedua adalah Hukum di Indonesia yang bersifat plural. Seperti yang telah kita
ketahui, Indonesia merupakan negara yang mempunyai beragam suku, bahasa, dan
adat. Tidak terkecuali Hukum Adat yang dimiliki oleh masing-masing daerah/suku.
Dalam masalah agraria, kita mengenal apa yang disebut sebagai tanah
ulayat/tanah adat. Tanah adat ini diklaim oleh masyarakat sebagai tanah yang
telah diwariskan selama bertahun-tahun oleh nenek moyang mereka. Hal tersebut
telah ada di dalam hukum adat masyarakat daerah masing-masing yang mendiami
daerah tersebut.
Kaitannya
dengan masalah agraria, Indonesia telah memiliki UU mengenai Pokok Agaria
(UUPA) yaitu UU No. 5 tahun 1960. Dalam Undang-undang tersebut disebutkan bahwa
sumber daya di bumi, air, dan sumber daya alam lainnya dikuasai oleh
pemerintah. Sehingga pemerintah mempunyai otoritas untuk memberikan lahan
tersebut baik untuk individu maupun untuk korporasi. Dalam UU ini juga mencakup
pengaturan mengenai kepemilikan hak tanah berdasar hukum adat, seperti yang
dijelaskan pada pasal 5 UU No. 5 tahun 1960. Namun dalam perkembangannya hukum
ini seperti diabaikan, bahkan kemudian diamandemen demi kepentingan-kepentingan
tertentu.
Pada
masa Orde Baru, hukum mengenai agraria sering disalahgunakan untuk kepentingan
tertentu, khususnya untuk kepentingan modal/pengusaha. Dengan otoritas Negara
dalam penguasaan tanah, pemerintah kemudian mulai mengambil lahan-lahan warga yang
sebelumnya telah diklaim warga setempat dalam hukum adat masyarakat tersebut.
Menurut Ari Sujito, ada dua modus yang dilakukan oleh Pemerintah untuk
mengkooptasi lahan/tanah adat milik warga. Pertama, Pemerintah secara diam-diam
mensertifikatkan tanah-tanah yang dinilai tidak jelas kepemilikannya padahal
tanah tersebut adalah tanah ulayat milik warga setempat. Dengan adanya
sertifikat maka Pemerintah berhak mengklaim tanah tersebut sesuai dengan hukum
legal-formal yang ada pada sertifikat tersebut. Kedua, Pemerintah memaksa
rakyat untuk menjual tanah tersebut dengan harga murah disertai dengan
intimidasi dan ancaman. Keadaan tersebut membuat warga mau tidak mau merelakan
lahan mereka yang telah diambil oleh Negara demi kepentingan-kepentingan
tertentu.
Pasca
reformasi, petani mulai mengklaim kembali tanah-tanah adat yang dulu sempat
diambil oleh Pemerintah untuk keperluan Pengusaha. Namun hal tersebut
terkendala oleh masalah hukum yang bersidat legal formal, karena Pengusaha
telah mempunyai sertifikat maupun HGU sebagai landasan hukum kepemilikan tanah
mereka. Sementara petani dan warga sekitar hanya mengklaim berdasarkan Hukum
adat yang mempunyai legitimasi yang lemah. Inilah yang kemudian menimbulkan
konflik atas klaim lahan antara Pengusaha dengan warga sekitar/petani.
3.
Tindakan Represif dari Aparat Keamanan
Faktor
ketiga adalah adanya tindakan represif yang dilakukan oleh aparat keamanan
khususnya kepada masyarakat/petani. Tindakan ini mencerminkan bahwa adanya
keberpihakan aparat keamanan terhadap salah satu pihak, dan merugikan pihak
lainnya. Padahal aparat sebagai penegak hukum seharusnya berlaku adil dan tidak
berpihak pada kelompok tertentu. Hal tersebut sama halnya seperti pada kondisi
di masa Orde Baru, dimana aparat hukum dan militer kerap mengintimidasi warga
demi kepentingan negara saat itu, karena masa Orde Baru memang bercorak
otoritarianisme.
Salah
satu contoh tindakan represif aparat adalah peristiwa 10 November 2011 di
Mesuji. Saat itu aparat keamanan (Brimob) melakukan tembakan membabi-buta
sekitar 15 menit ke arah warga. Peristiwa tersebut menimbulkan 8 orang korban,
salah satunya korban tewas bernama Zulaeni yang terkena peluru di kepala.
Adanya kekerasan yang dilakukan oleh aparat kemanan menimbulkan pertanyaan
bagaimana jalannya supremasi hukum di Indonesia? Peristiwa ini tentunya akan
tambah membuat panas konflik, yang tadinya antara petani dengan pengusaha
kemudian merambah hingga aspek Negara.
Dari
faktor-faktor diatas, terlihat bahwa dalam hal ini konflik agraria di Mesuji
dapat dikatakan sebagai sebuah konflik politik. Hal ini dikarenakan yang
dipertentangkan adalah menyangkut isu-isu kelompok/publik. Hak tanah diklaim
oleh masing-masing pihak yaitu oleh pihak pengusaha dengan petani atas dasar
hukum yang mereka pegang masing-masing. Khususnya kebijakan yang dikeluarkan
pemerintah dengan memberikan izin usaha dan HGU kepada pengusaha. Dampaknya
masyarakat tidak menerima dan akhirnya muncullah konflik akibat perbedaan
persepsi dalam peraturan yang dilakukan oleh Pemerintah. Sementara itu jika
dikaitkan dengan konsep konflik kelas Marx, penulis berpendapat konflik agraria
masih relevan jika dikaitkan dengan konsep teori Marx. Hal ini terlihat dari
pihak-pihak yang berselisih yaitu antara kelas Pengusaha dengan kelas Petani
(Proletar), selain itu hal yang diperebutkan adalah kekuasaan atas kepemilikan
lahan.
Peranan
Pemerintah dalam Konflik Agraria di Mesuji
Konflik
agraria di Mesuji pada dasarnya merupakan konflik antara perusahaan dengan
petani sekitar mengenai hak klaim tanah, namun tidak dapat kita pungkiri peran
pemerintah dalam konflik tersebut sangatlah besar. Seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya, konflik agraria berakar dari mas pemerintahan Orde Baru
yang cenderung setralistik dan otoriter. Hal tersebut juga terkait pada kepemilikan
hak tanah yang dikuasai oleh pemerintah, yang sebelumnya merupakan tanah-tanah
adat milik warga sekitar. Tanah tersebut kemudian dijual kepada
perusahaan-perusahaan dengan mengeluarkan surat izin dan HGU kepada perusahaan
tersebut.
Pemberian
izin dan pengeluaran HGU kepada perusahaan inilah yang memicu timbulnya konflik
agraria di Mesuji, apalagi masyarakat sekitar tidak dilibatkan dalam
pengambilan keputusan dan negosiasi ganti rugi hak tanah. Sehingga hal ini
menimbulkan kemarahan masyarakat daerah tersebut, namun akibat tindakan aparat
keamanan yang cukup represif saat itu gejolak-gejolak konflik agraria dapat
diredam dan petani pada akhirnya tidak mempunyai keberanian untuk melawannya.
Dengan kata lain, pemerintah di masa Orde Baru berlaku tidak adil dalam masalah
agraria ini dengan mengeluarkan peraturan-peraturan yang mendukung pihak
pengusaha daripada masyarakat kecil di daerah tersebut. Kondisi ini telah
berlangsung cukup lama hingga masa reformasi.
Pasca
reformasi, konflik agraria justru semakin memanas. Seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya, dengan jatuhnya rezim dan menguatnya kembali demokrasi,
mulai terjadi reclaiming atas hak tanah yang sebelumnya telah diambil oleh
pengusaha. Konflik ini kadangkala menjadi sebuah konflik yang bersifat
kekerasan, salah satu contohnya seperti peristiwa yang terjadi di Mesuji.
Munculnya konflik-konflik ini tidak lain adalah masih belum adanya
tindakan-tindakan tegas dari pemerintah dalam mengatasi konflik tersebut.
Ketidakadilan masih dirasakan khususnya oleh kelompok petani karena belum
adanya perundang-undangan yang mengatur mengenai masalah agraria secara tegas.
Ketidakadilan
ini terlihat jelas saat terjadi peristiwa penembakan yang dilakukan oleh aparat
kemanan terhadap warga di daerah Mesuji Lampung. Tidak tanggung-tanggung hal
tersebut membuat beberapa warga kehilangan nyawa mereka karena diberondong
peluru aparat kemanan. Tindakan ini merupakan tindakan pelanggaran HAM berat
yang dilakukan oleh aparat keamanan. Banyak pihak mengecam tindakan tersebut,
termasuk dari LSM dan organisasi-organisasi seperti WALHI, LBH, WACANALA dll.
Mereka menganggap aparat pemerintah berpihak pada kelompok pengusaha dengan
berlaku semena-mena terhadap rakyat kecil.
Fakta-fakta
tersebut nampaknya telah menunjukkan absennya negara dalam mengatasi konflik
agraria antara petani dengan pengusaha. Sejatinya Pemerintah yang mempunyai
otoritas dalam negara ini, mempunyai peran sebagai penengah pihak-pihak yang
berkonflik tersebut. Bisa saja kasus Mesuji lainnya dapat meluas sehingga
nantinya akan dapat merusak tatanan sosial di dalam masyarakat. Dalam
perkembangan terakhir, konflik agraria telah mulai menjadi titik perhatian
pemerintah. Berbagai usaha telah dilakukan oleh pemerintah salah satunya
dibentuknya Tim Gabungan Pencari Fakta dari DPR, akademisi, maupun LSM yang
bertugas untuk meneliti penyebab terjadinya konflik dan juga memberikan
rekomendasi-rekomendasi terkait penyelesaian masalah konflik agraria tersebut.
Selain
itu, wacana reformasi agraria telah mulai menjadi buah bibir di kalangan
pemerintahan khususnya di kalangan legislatif sebagai pembuat Undang-undang.
Hal ini terlihat dengan mulai disusunnya RUU mengenai Desa yang salah satu
isinya mengatur mengenai status lahan dan pengelolaan sumber daya alam di desa.
Adanya RUU mengenai desa ini diharapkan dapat menjawab segala bentuk masalah
agraria yang selama ini menjadi sebuah konflik yang tak kunjung usai. Dengan
kata lain, peran pemerintah semakin besar khususnya dalam mengatasi
masalah-masalah konflik agraria akhir-akhir ini. Salah satu pemicunya adalah
adanya kasus penembakan di Mesuji oleh aparat keamanan.
Kesimpulan
Dari
penjelasan sebelumnya, dapat disimpulkan dalam kasus konflik agraria di Mesuji
merupakan konflik yang terjadi antara dua kelas yaitu kelas Pengusaha
(kapitalis) dengan kelas petani memperebutkan lahan/tanah di daerah Mesuji
Lampung. Konflik ini juga tidak terlepas dari kebijakan pertanahan yang
dilakukan pemerintah di masa orde baru yang cenderung bersifat kapitalistik.
Maksudnya, peraturan mengenai penguasaan lahan sangat menguntungkan pihak
pengusaha misalnya dalam pemberian izin lokasi dan HGU yang dikeluarkan oleh
Pemerintah. Di sisi lain, hal tersebut menimbulkan kerugian bagi
petani/masyarakat sekitar yang bertahun-tahun mendiami daerah tersebut dan
telah menganggap tanah tersebut sebagai tanah adat/tanah nenek moyang mereka.
Dualisme hukum antara hukum adat dan hukum Nasional juga menjadi salah satu
penyebab konflik agraria di Mesuji, karena masing-masing pihak mengklaim lahan
tersebut sesuai hukum yang mereka pegang. Namun karena Negara ini merupakan
Negara Konstitusional jelas Hukum Nasional lebih didahulukan daripada Hukum
Adat.
Tindakan
represif yang dilakukan oleh aparat keamanan juga merupakan salah satu pemicu
konflik agraria yang lebih besar. Aparat Keamanan dianggap tidak berpihak
kepada rakyat dan cenderung menguntungkan pihak pengusaha. Melihat fakta-fakta
yang terjadi di Mesuji, dapat disimpulkan Negara bertindak secara tidak adil
dengan memihak salah satu kelompok (kelompok pengusaha) dan merugikan
masyarakat kecil. Hal tersebut terlihat dari dikeluarkannya peraturan-peraturan
terkait izin lokasi dan HGU diatas tanah-tanah warga di Mesuji. Tidak dapat
dipungkiri juga, dalam perkembangannya Negara mulai concern terhadap masalah
agraria apalagi saat munculnya berita mengenai pembantaian di Mesuji. Salah
satu usaha yang dilakukan pemerintah adalah membentuk Tim Gabungan Pencari
Fakta untuk meneliti penyebab dan memberikan rekomendasi atas pemecahan masalah
agraria di Mesuji. Selain itu, telah mulai dibahas usaha-usaha untuk
mereformasi agraria seperti pembahasan RUU mengenai desa yang mengatur juga
tentang pengelolaan sumber daya alam di desa.
DAFTAR
PUSTAKA
Astuti,
Puji. Kekerasan dalam Konflik Agraria: Kegagalan Negara dalam Menciptakan Keadilan
di Bidang Pertanahan. dalam pdf
http://ejournal.undip.ac.id/index.php/forum/article/download/3158/2834 diakses
pada tanggal 7 Mei 2012 pukul 22.34
Gurr,
Ted Robert “Introduction” dalam Handbook of Political Conflict: Theory and
Research. New York: The Free Press. 1980
Raharjanto,
Sapto. Tragedi Mesuji dan Absennya Negara, dikutip dari
http://www.pdiperjuangan-jatim.org/v03/index.php?mod=berita&id=5119 diakses
pada tanggal 12 Mei 2012 pukul 21.45
Rauf,
Maswadi. Konsensus Politik: Sebuah Penjajagan Teoritis. Jakarta: Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi. 2000
Wirardi,
Gunawan. Konflik Agraria. dalam pdf
http://pustaka-agraria.org/media/download_gallery/_17-10-03_-GWR-Catatan%20Ringkas%20Konflik%20Agraria.pdf
diakses pada tanggal 7 Mei 2012 pukul 22.26
http://berita-lampung.com/2011/12/kronologis-konflik-lahan-di-mesuji.html
diakses pada 7 Mei 2012 pukul 20.45
http://politik.kompasiana.com/2012/01/11/konflik-agraria-register-45-mesuji-lampung/
diakses pada tanggal 7 Mei 2012 pukul 19.20
http://www.walhi.or.id/id/ruang-media/walhi-di-media/berita-perkebunan-besar/1667-kronologis-penembakan-petani-mesuji-versi-koalisi-lsm.html
diakses pada tanggal 12 Mei 2012 pukul 21.18
http://walhi.or.id/id/ruang-media/siaran-pers/1804-mesuji-ladang-pelanggaran-ham-berat.html
diakses pada tanggal 12 Mei 2012 pukul 21.05
UU
No. 5 Tahun 1960
Comments