Ringkasan Hukum Adat
I. SEJARAH
HUKUM ADAT
1. Sejarah Singkat
Peraturan adat istiadat kita ini, pada
hakekatnya sudah terdapat pada zaman kuno, zaman Pra-Hindu. Adat istiadat yang
hidup dalam masyarakat Pra-Hindu tersebut menurut ahli-ahli hukum adat adalah
merupakan adat-adat Melayu Polinesia.
Kemudian datang kultur Hindu, kultur Islam
dan kultur Kristen yang masing-masing mempengaruhi kultur asli tersebut yang
sejak lama menguasai tata kehidupan masyarakat Indonesia sebagai suatu hukum adat.
Sehingga Hukum Adat yang kini hidup pada rakyat itu adalah hasil akulturasi
antara peraturan-peraturan adat-istiadat zaman Pra-Hindu dengan
peraturan-peraturan hidup yang dibawa oleh kultur Hindu, kultur Islam dan
kultur Kristen.
2. Bukti Adanya Hukum Adat Indonesia
Bukti-bukti bahwa dulu sebelum bangsa Asing
masuk ke Indonesia
sudah ada hukum adat, adalah sebagai berikut :
1. Tahun 1000, pada zaman Hindu, Raja
Dharmawangsa dari Jawa Timur dengan kitabnya yang disebut Civacasana.
2. Tahun 1331-1364, Gajah Mada Patih
Majapahit, membuat kitab yang disebut Kitab Gajah Mada.
3. Tahun 1413-1430, Kanaka Patih Majapahit,
membuat kitab Adigama.
4. Tahun 1350, di Bali ditemukan kitab hukum
Kutaramanava.
Disamping kitab-kitab hukum kuno tersebut
yang mengatur kehidupan di lingkungan istana, ada juga kitab-kitab yang
mengatur kehidupan masyarakat sebagai berikut :
1. Di Tapanuli
Ruhut Parsaoran di Habatohan (kehidupan
social di tanah Batak), PatikDohot Uhumni Halak
Batak (Undang-Undang dan ketentuan-ketentuan Batak).
2. Di Jambi
Undang-Undang Jambi
3. Di Palembang
Undang-Undang Simbur Cahaya (Undang-Undang
tentang tanah di dataran tinggi daerah Palembang).
4. Di Minangkabau
Undang-Undang nan dua puluh (Undang-Undang tentang hukum
adat delik di Minangkabau)
5. Di Sulawesi
Selatan
Amana Gapa (peraturan tentang pelayaran dan pengangkatan
laut bagi orang-orang wajo)
6. Di Bali
Awig-awig (peraturan Subak dan desa) dan Agama desa
(peraturan desa) yang ditulis didalam daun lontar.
Sebelum datang VOC belum ada penelitian
tentang hukum adat, dan semasa VOC karena ada kepentingan atas Negara
jajahannya (menggunakan politik opportunity), maka Heren 17 (pejabat di Negeri
Belanda yang mengurus Negara-negara jajahan Belanda) mengeluarkan perintah
kepada Jenderal yang memimpin daerah jajahannya masing-masing untuk menerapkan
hukum Belanda di Negara jajahan (Indonesia) tepatnya yaitu pada tanggal 1 Maret
1621 yang baru dilaksanakan pada tahun 1625 yaitu pada pemerintahan De
Carventer yang sebelumnya mengadakan penelitian dulu dan akhirnya sampai pada
suatu kesimpulan bahwa di Indonesia masih ada hukum adat yang hidup. Oleh
karena itu, Carventer memberikan tambahan bahwa hukum itu disesuaikan sehingga
perlu 4 kodifikasi hukum adat yaitu :
1. Tahun 1750, untuk keperluan Lanrad
(pengadilan) di Serang dengan kitab hukum “MOGHARRAR” yang mengatur khusu
pidana adat (menurut Van Vollenhoven kitab tersebut berasal dari hukum adat).
2. Tahun
1759, Van Clost Wijck mengeluarkan kitab yaitu “COMPEDIUM” (pegangan/ikhtisar)
yang terkenal dengan Compedium Van Clost Wijck mengenai Undang-Undang Bumi
Putera di lingkungan kerator Bone dan Goa.
3. COMPENDIUM
FREIZER tentang Peraturan Hukum Islam mengenai nikah, talak, dan warisan.
4. HASSELAER,
beliau berhasil mengumpulkan buku-buku hukum untuk para hakim di Cirebon yang
terkenal dengan PAPAKEM CIREBON. Pencatatan hukum adat oleh orang
luar negeri diantaranya :
1) Robert Padtbrugge (1679), ia seorang
gubernur Ternate yang mengeluarkan peraturan tentang adat istiadat Minahasa.
2) Francois Valetijn (1666-1727) yang
menerbitkan suatu ensiklopedia tentang
kesulitan-kesulitan hukum bagi masyarakat. Peridesasi hukum adat pada masa
penjajahan Belanda terbagi dalam :
3) Jaman Daendels (1808-1811) Beranggapan
bahwa memang ada hukum yang hidup dalam masyarakat adat tetapi derajatnya lebih
rendah dari hukum eropa, jadi tidak akan mempengaruhi apa-apa sehingga hukum
eropa tidak akan mengalami perubahan karenanya.
4) Jaman Raffles (1811-1816) Pada zaman
ini Gubernur Jenderal dari Inggris membentuk komisi MACKENZIE atau suatu
panitia yang tugasnya mengkaji/meneliti peraturan-peraturan yang ada di
masyarakat, untuk mengadakan perubahan-perubahan yang pasti dalam membentuk
pemerintahan yang dipimpinnya. Setelah terkumpul hasil penelitian komisi ini
yaitu pada tanggal 11 Pebruari 1814 dibuat peraturan yaitu regulation for the
more effectual Administration of justice in the provincial court of Java yang
isinya :
a. Residen
menjabat sekaligus sebagai Kepala Hakim
b. Susunan pengadilan terdiri dari :
1) Residen’s court
2) Bupati’s court
3) Division court
c. Ada
juga Circuit of court atau pengadilan keliling
d. Yang berlaku
adalah native law dan unchain costum untuk Bupati’s court dan untuk Residen
(orang Inggris) memakai hukum Inggris.
5) Zaman Komisi
Jenderal (1816-1819) Pada zaman ini tidak ada perubahan dalam perkembangan
hukum adat dan tidak merusak tatanan yang sudah ada.
6) Zaman Van der
Capellen (1824) Pada zaman ini tidak ada perhatian hukum adat bahkan merusak
tatanan yang sudah ada.
7) Zaman Du Bush
Pada zaman ini sudah ada sedikit perhatian pada hukum adat, yang utama dalam
hukum adat ialah hukum Indonesia
asli.
8) Zaman Van den
Bosch Pada zaman ini dikatakan bahwa hukum waris itu dilakukan menurut hukum
Islam serta hak atas tanah adalah campuran antara peraturan Bramein dan Islam.
9) Zaman Chr. Baud. Pada zaman ini sudah
banyak perhatian pada hukum adat misalnya tentang melindungi hak-hak ulayat.
Pada tahun 1918 putera-putera Indonesia membuat
disertasi mengeani hukum
adat di Balai Perguruan Tinggi di Belanda, antara lain
:
1. Kusumaatmadja
tahun 1922 yang menulis tentang wakaf
2. Soebroto
tahun 1925 yang menulis tentang sawah vervavding (gadai sawah)
3. Endabumi
tahun 1925 yang menulis tentang Bataks grondenrecht (hukum tanah suku Batak).
4. Soepomo tahun
1927 yang menulsi tentang Vorstenlands grondenrecht (hak tanah di
kerajaan-kerajaan). Adapun penyelidikan tentang hukum adat di Indonesia
dilakukan oleh :
a. Djojdioeno/
Tirtawinata yang menulis tentang Hukum Adat privat Jawa Tengah.
b. Soepomo
yang menulis tentang Hukum Adat Jawa Barat
c. Hazairin
yang membuat disertasinya tentang “Redjang”
3. Sejarah Politik Hukum Adat
Hukum
adat menjadi masalah politik hukum pada saat pemerintah Hindia Belanda akan
memberlakukan hukum eropa atau huku yang berlaku di Belanda menjadi hukum
positif di Hindia Belanda (Indonesia )
melalui asas konkordansi. Mengenai hukum adat timbulah masalah bagi pemerintah
colonial, sampai dimana hukum ini dapat digunakan bagi tujuan-tujuan Belanda
serta kepentingan-kepentingan ekonominya, dan sampai dimana hukum adat itu
dapat dimasukkan dalam rangka politik Belanda. Kepentingan atau kehendak bangsa
Indonesia
tidak masuk perhitungan pemerintah colonial. Apabila diikuti secara kronologis
usaha-usaha baik pemerintah Belanda di negerinya sendiri maupun pemerintah
colonial yang ada di Indonesia
ini, maka secara ringkasnys undang-undang yang bertujuan menetapkan nasib
ataupun kedudukan hukum adat seterusnya didalam system perundang-undangan di
Indonesia, adalah sebagai berikut :
1. Mr. Wichers,
Presiden Mahkamah Agung, ditugaskan untuk menyelidiki apakah hukum adat privat
itu tidak dapat diganti dengan hukum kodifikasi Barat. Rencana kodifikasi
Wichers gagal/
2. Sekitar tahun
1870, Van der Putte, Menteri Jajahan Belanda, mengusulkan penggunaan hukum
tanah Eropa bagi penduduk desa di Indonesia untuk kepentingan agraris pengusaha
Belanda. Usaha inipun gagal.
3. Pada tahun 1900,
Cremer, Menteri Jajahan, menghendaki diadakan kodifikasi local untuk sebagian
hukum adat dengan mendahulukan daerah
daerah yang penduduknya telah memeluk
agama Kristen. Usaha ini belum terlaksana.
4. Kabinet
Kuyper pada tahun 1904 mengusulkan suatu rencana undangundang untuk
menggantikan hukum adat dengan hukum Eropa. Pemerintah Belanda menghendaki
supaya seluruh penduduk asli tunduk pada unifikasi hukum secara Barat. Usaha
ini gagal, sebab Parlemen Belanda menerima suatu amandemen yakni amandemen Van
Idsinga.
5. Pada
tahun 1914 Pemerintah Belanda dengan tidak menghiraukan amandemen Idsinga,
mengumumkan rencana KUH Perdata bagi seluruh golongan penduduk di Indonesia.
Ditentang oleh Van Vollenhoven dan usaha ini gagal.
6. Pada
tahun 1923 Mr. Cowan, Direktur Departemen Justitie di Jakarta membuat rencana
baru KUH Perdata dalam tahun 1920, yang diumumkan Pemerintah Belanda sebagai
rencana unifikasi dalam tahun 1923. Usaha ini gagal karena kritikan
Van Vollenhoven. Pengganti Cowan, yaitu Mr Rutgers memberitahu bahwa meneruskan
pelaksanaan kitab undangundang kesatuan itu tidak mungkin.
Dan
dalam tahun 1927 Pemerintahn Hindia Belanda mengubah haluannya, menolak
penyatuan hukum (unifikasi). Sejak tahu 1927 itu olitik Pemerintah Hindia
Belanda terhadap hukum adat mulai berganti haluan, yaitu dari “unifikasi”
beralih ke “kodifikasi”.
4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan
Hukum Adat
Banyak faktor yang mempengaruhi perkembangan hukum adat, disamping
kemajuan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi, kondisi alam, juga faktorfaktor
yang bersifat tradisional adalah sebagai berikut :
1. Magis dan Animisme :
Alam
pikiran magis dan animisme pada dasarnya dialami oleh setiap bangsa di dunia.
Di Indonesia faktor magis dan animisme cukup besar pengaruhnya. Hal ini dapat
dilihat dalam upacara-upacara adat yang bersumber pada kekuasaan-kekuasaan
serta kekuatan-kekuatan gaib.
a. Kepercayaan
kepada mahkluk-mahkluk halus, roh-roh, dan hantuhantu yang menempati seluruh
alam semesta dan juga gejala-gejala alam, semua benda yang ada di alam
bernyawa.
b. Kepercayaan
terhadap kekuatan-kekuatan sakti dan adanya roh-roh yang baik dan yang jahat.
c. Adanya
orang-orang tertentu yang dapat berhubungan dengan dunia gaib dab atau sakti.
d. Takut
adanya hukuman/ pembalasan oleh kekuatan-kekuatan gaib. Hal ini dapat dilihat
adanya kebiasaan mengadakan siaran-siaran, sesajen di tempat-tempat yang
dianggap keramat.
Animisme yaitu percaya bahwa segala sesuatu dalam alam
semesta ini bernyawa.
Animisme ada dua macam yaitu :
a. Fetisisme
: Yaitu memuja jiwa-jiwa yang ada pada alam semesta, yang mempunyai kemampuan
jauh lebih besar dari pada kemampuan manusia, seperti halilintar, taufan,
matahari, samudra, tanah, pohon besar, gua dan lain-lain.
b. Spiritisme
: Yaitu memuja roh-roh leluhur dan roh-roh lainnya yang baik dan yang jahat.
2. Faktor
Agama
Masuknya agama-agama di Indonesia cukup banyak
memberikan pengaruh terhadap perkembangan hukum adat misalnya :
Agama Hindu :
Pada abad ke 8 masuknya orang India ke Indonesia
dengan membawa agamanya, pengaruhnya dapat dilihat di Bali. Hukum-hukum Hindu berpengaruh pada bidang
pemerintahan Raja dan pembagian kasta-kasta.
Agama Islam :
Pada abad ke 14 dan awal abad 15 oleh pedagang-pedagang
dari Malaka, Iran. Pengarush Agama Islam terlihat dalam hukum perkawinan yaitu
dalam cara melangsungkan dan memutuskan perkawinan dan juga dalam bidang wakaf.
Pengaruh hukum perkawinan Islam didalam hukum adat di beberapa daerah di
Indonesia tidak sama kuatnya misalnya daerah Jawa dan
Madura, Aceh pengaruh Agama Islam sangat kuat, namun
beberapa daerah
tertentu walaupun sudah diadakan menurut hukum perkawinan Islam,
tetapi tetap dilakukan upacara-upacara perkawinan menurut hukum adat,
missal di Lampung, Tapanuli.Agama Kristen :Agama Kristen dibawa oleh pedagang-pedagang Barat. Aturan-aturanhukum Kristen di Indonesia cukup memberikan pengaruh pada hukum keluarga, hukum perkawinan.Agama Kristen juga telah memberikan pengaruh besar dalam bidang socialkhususnya dalam bidang pendidikan dan kesehatan, dengan didirikannyabeberapa lembaga Pendidikan dan rumah-rumah sakit.
tertentu walaupun sudah diadakan menurut hukum perkawinan Islam,
tetapi tetap dilakukan upacara-upacara perkawinan menurut hukum adat,
missal di Lampung, Tapanuli.Agama Kristen :Agama Kristen dibawa oleh pedagang-pedagang Barat. Aturan-aturanhukum Kristen di Indonesia cukup memberikan pengaruh pada hukum keluarga, hukum perkawinan.Agama Kristen juga telah memberikan pengaruh besar dalam bidang socialkhususnya dalam bidang pendidikan dan kesehatan, dengan didirikannyabeberapa lembaga Pendidikan dan rumah-rumah sakit.
3. Faktor Kekuasaan yang lebih tinggi
Kekuasaan-kekuasaan yang lebih tinggi yang dimaksud
adalah kekuasaankekuasaan Raja-raja, kepala Kuria, Nagari dan lain-lain. Tidak semua Raja-raja yang pernah bertahta di negeri ini baik, ada juga
Raja yang bertindak sewenang-wenang bahkan tidak jarang terjadi keluarga dan
lingkungan kerajaan ikut serta dalam menentukan kebijaksanaan kerajaan misalnya
penggantian kepala-kepala adat banyak diganti oleh orang-orang yang dengan
kerajaan tanpa menghiraukan adat istiadat bahkan menginjak-injak hukum adat
yang ada dan berlaku didalam masyarakat tersebut.
4. Adanya Kekuasaan Asing
Yaitu
kekuasaan penjajahan Belanda, dimana orang-orang Belanda dengan alam pikiran baratnya
yang individualisme. Hal ini jelas bertentangan
dengan alam pikiran adat yang bersifat kebersamaan.
II. STRUKTUR TRADISIONAL HUKUM ADAT
Selo Soemardjan
menekankan pada factor perbedaan “culture” dari setiap suku bangsa, yang
menjadi titik tolak adanya suatu masyarakat majemuk. Konsepsi tersebut di atas,
kemudian diperhalus dan diperluas dengan mengambil kriteria cirri-ciri struktur
sosial dan kebudayaan, sehingga menimbulkan klasifikasi tiga bentuk masyarakat
sebagai berikut :
1. Masyarakat dengan struktur
sosial dan kebudayaan sederhana, yang ciriciri utamanya adalah :
a. Hubungan dalam
keluarga dan dalam masyarakat setempat amat kuat.
b. Organisasi sosial
pada pokoknya didasarkan atas adat-istiadat yang terbentuk menurut tradisi.
c. Kepercayaan kuat pada
kekuata-kekuatan gaib yang mempengaruhi kehidupan manusia, akan tetapi tidak
dapat dikuasai olehnya.
d. Tidak ada
lembaga-lembaga khusus untuk memberi pendidikan dalam bidang teknologi;
keterampilan diwariskan oleh orang tua kepada anak sambil berpraktek dengan
sedikit teori dan pengalaman, dan tidak dari hasil pemikiran atau eksperimen.
e. Tingkat buta huruf
tinggi.
f. Hukum yang berlaku
tidak ditulis, tidak kompleks dan pokokpokoknya diketahui dan dimengerti oleh
semua anggota dewasa dari masyarakat.
g. Ekonominya sebagaian
besar meliputi produksi untuk keperluan keluarga sendiri atau buat pesanan
kecil setempat, sedang uang sebagai alat penukar dan alat pengukur harga
berperan terbatas.
h. Kegiatan ekonomi dan
sosial yang memerlukan kerja sama orang banyak dilakukan secara tradisional
dengan gotong royong tanpahubungan kerja antara buruh dengan majikan.
2. Masyarakat dengan struktur
sosial dan kebudayaan madya, yang ciri-ciri utamanya :
a. Hubungan dalam
keluarga tetap kuat, tetapi hubungan dalam masyarakat setempat sudah mengendor
dan menunjukkan gejala-gejala hubungan atas dasar perhitungan ekonomi.
b. Adat-istiadat masih
dihormati, tetapi sikap masyarakat mulai terbuka buat pengaruh dari luar.
c. Dengan timbulnya
rasionalitas dalam cara berfikir orang maka kepercayaan pada kekuatan-kekuatan
gaib baru timbul apabila orang sudah kehabisan akal untuk menanggulangi sesuatu
masalah.
d. Didalam masyarakat
timbul lembaga-lembaga pendidikan formal kirakira sampai tingkat sekolah
lanjutan pertama, tetapi masih jarang sekali adanya lembaga pendidikan
keterampilan atau kejuruan.
e. Tingkat buta huruf
bergerak menurun
f. Hukum tertulis mulai
mendampingi hukum tidak tertulis.
g. Ekonomi masyarakat
memberi kesempatan lebih banyak kepada produksi buat pasaran, halmana mulai
menimbulkan deferensiasi dalam struktur masyarakat; dengan sendirinya peranan
uang meningkat.
h. Gotong royong
tredisional tinggal buat keperluan sosial di kalangan keluarga besar dan
tetangga, tetapi gotong-royang buat keperluan umum dan buat kegiatan ekonomis
dilakukan atas dasar upah uang.
3. Masyarakat dengan struktur
sosial dan kebudayaan pra modern atau modern, yang mempunyai ciri-ciri
a. Hubungan antara
manusia didasarkan terutama atas kepantingankepentingan pribadi.
b. Hubungan dengan
masyarakat-masyarakat lain dilakukan secara terbuka dalam suasana saling
pengaruh mempengaruhi, kecuali dalam penjagaan rahasia penemuan baru dalam
industri.
c. Kepercayaan kuat pada
manfaat ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai sarana untuk senantiasa
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
d. Masyarakat
tergolong-golong menurut bermacam-macam profesi serta keahlian yang
masing-masing dapat dipelajari dan ditingkatkan dalam lembaga-lembaga
pendidikan keterampilan dan kejuruan.
e. Tingkat pendidikan
formal adalah tinggi dan merata
f. Hukum yang berlaku
pada pokoknya hukum tertulis yang amat kompleks adanya.
g. Ekonomi hamper
seluruhnya merupakan ekonomi pasar yang didasarkan atas penggunaan uang dan
alat-alat pembayaran lain.
III. HUKUM PERORANGAN
Hukum adat mengenal
dua subyek hukum yaitu :
1. Manusia :
Pada prinsipnya semua
orang dalam hukum adat diakui mempunyai wewenang hukum yang sama, yang oleh
Djojodigoeno memakai istilah “kecakapan berhak” tetapi dalam kenyataannya di
beberapa daerah terdapat pengecualian- pengecualian seperti :
- Di Minangkabau
orang perempuan tidah berhak menjadi Penghulu Andiko atau Mamak kepala waris.
- Di daerah-daerah
Jawa Tengah yang berhak menjadi kepala desa anak anak laki-laki. Lain halnya
dengan cakap hukum atau cakap untuk melakukan perbuatan hukum (Djojo Digoeno
menggunakan istilah “kecakapan bertindak”) Menurt hukum adat cakap melakukan
perbuatan hukum adalah orang-orang yang sudah dewasa. Ukuran dewasa dalam hukum
adat bukanlah umur tetapi kenyataan-kenyataan tertentu. Soepomo memberikan
cirri-ciri seseorang dianggap dewasa yaitu :
a. kuat gawe (dapat
mampu bekerja sendiri), cakap untuk melakukan segala pergaulan dalam kehidupan
kemasyarakatan serta dapat mempertanggungjawabkan sendiri segala perbuatannya.
b. Cakap mengurus harta
bendanya dan keperluannya sendiri.
c. Tidak menjadi
tanggungan orang tua dan tidak serumah lagi dengan orang tuanya. Di Jawa
seseorang dianggap cakap melakukan perbuatan hukum apabila sudah hidup mandiri
dan berkeluarga sendiri (sudah mentas atau Mencar). Raad van Justitie
(Pengadilan Tinggi) Jakarta dalam Keputusannya tertanggal 16 Oktober 1998 menetapkan khusus bagi wanita untuk dapat dianggap cakap
menyatakan kehendaknya sendiri sebagai berikut :
a. Umur 15 tahun
b. Masak untuk hidup
sebagai isteri
c. Cakap untuk melakukan
perbuatan-perbuatannya.
Keputusan Raad van
Justitie tersebut menunjukkan adanya pemakaian dua macam criteria yaitu
criteria barat dengan criteria adat, yang memberikan perkembangan baru bagi
hukum adat khususnya mengenai criteria dewasa.
2. Badan Hukum sebagai Subjek
Hukum
Badan Hukum sebagai
subjek Hukum dikenal ada dua macam yaitu :
a. Badan Hukum Publik
b. Badan Hukum Privat
1.) Badan hukum publik
merupakan subjek hukum ciptaan hukum untuk :
1. Memenuhi
kebutuhan-kebutuhan bersama dalam setiap kegiatankegiatan bersama.
2. Adanya tujuan-tujuan
idiil yang ingin dicapai secara bersama. Contoh badan hukum publik adalah
masyarakat hukum adat, seperti dusun, marga, desa, dan sebagainya, masyarakat
hukum adat merupakan satu kesatuan penguasa yang mempunyai kekayaan tersendiri
berupa
benda-benda materiil
maupun benda immaterial yang diurus oleh pengurus yang dipimpin oleh Kepala
Adat.
Dengan demikian badan
hukumpublik mempunyai :
1. Pemimpin/ Pengurus
2. Harta kekayaan
sendiri
3. Wilayah tertentu
2.) Badan Hukum Privat
a. Wakaf
Yaitu suatu
lembaga/badan yang bertugas untuk menurus harta kekayaan yang oleh pemiliknya
diserahkan kepada masyarakat untuk digunakan bagi kepentingan umum masyarakat,
yang biasanya digunakan untuk keperluan yang ada hubungannya dengan bidang
keagamaan. Dalam adat
yang sering terlihat adalah dua macam wakaf, yaitu :
1. mencadangkan suatu
pekarangan atau sebidang tanah untuk mesjid atau langgar
2. menentukan sebagian
dari harta benda yang dimiliki sebagai benda yang tidak dapat dijual demi
kepentingan keturunannya yang berhak memungut penghasilannya. Lembaga hukum
wakaf ini asalnya dari hukum Islam. Oleh karena itu maka pelaksanaannya juga
terikat oleh syarat-syarat yang ditetapkan oleh hukum Islam seperti :
1. yang membuat wakaf
harus mempunyai hak penuh (menurut hukum adat) atas apa yang ingin diwakafkan.
2. benda yang diwakafkan
harus ditunjuk dengan terang dan maksud serta tujuan yang tidak bertentangan/
dilarang abaga, harus dijelaskan.
3. mereka yang
memberikan wakaf harus disebut dengan terang.
4. maksud harus tetap.
5. yang menerima wakaf
harus menerimanya (Kabul). Benda-benda yang dapat diwakafkan terdiri dari :
a. tanah kosong untuk
pemekaman umum, mesjid, surau atau tempat ibadah lainnya.
b. Rumah atau suatu
bangunan tertentu berikut tanahnya yang akan diperuntukkan bagi kantor agama,
mesjid, surau, madrasahmadrasah, sekolah keagamaan lainnya, asrama dan rumah
pertemuan keagamaan lainnya.
b. Yayasan
Yaitu badan hukum yang
melakukan kegiatan dalam bidang social. Yayasan yang demikian dapat dibentuk
dengan akta pembentukan. Contohnya sekarang banyak yayasan yang bergerak di
bidang kematian, bidang pemeliharaan anak yatim dan sebagainya.
c. Koperasi
Yaitu badan usaha yang
beranggotakan orang-orang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan
kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi
rakyat yang berdasrkan atas asas kekeluargaan (UU No. 25/ 1992) Koperasi
berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 serta berdasar atas asas kekeluargaan. Ternyata
hukum perorangan yang berlaku di Indonesia saat ini masih menganut dua sumber
hukum yaitu hukum adat Indoneis dan hukum yang berasal dari Belanda. Hal ini
menyebabkan ketidakpastian hukum perorangan di Indonesia. Oleh karena itu perlu
adanya usaha untuk lebih menggali sumber sumber hukum yang ada di Indonesia
demi terbentuknya suatu hukum Nasional Indonesia.
IV. HUKUM PEREKONOMIAN ADAT
Unsur perekonomian dalam
hukum adat tidak jauh berbeda dengan Hukum perdata .Adapun unsur dan
penjelasannya adalah :
A. HUKUM
ADAT WARIS
1. Pengertian Hukum Adat Waris
a. Prof. Soepomo, merumuskan hukum adat waris
adalah : Hukum adat waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses
meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang tidak berwujud
dari angkatan manusia kepada turunannya.
b. Ter Haar, merumuskan hukum adat waris
adalah Hukum adat waris meliputi peraturan-peraturan hukum yang bersangkutan
dengan proses yang sangat mengesankan serta yang akan selalu berjalan tentang penerusan
dan pengoperan kekayaan materiil dan immaterial dari suatugenerasi kepada
generasi berikutnya.
c. Wirjono Prodjodikoro, S.H., menyatakan :
Warisan itu adalah soal apakah dan bagaimanakah pelbagai hak-hak dan
kewajiban-kewajiban tentang kekayaan sesorang pada waktu meninggal dunia akan
beralih kepada orang lain yang masih hidup.
d. Soerojo Wignjodipoero, S.H., mengatakan :
Hukum adat waris meliputi norma-norma hukum yang menetapkan harta kekayaan baik
yang materiil maupun immaterial yang manakah dari seseorang yang dapat
diserahkan kepada keturunannya.
2. Beberapa hal
penting dalam Hukum Adat Waris :
- Hukum adat waris
erat hubungannya dengan sifat-sifat kekeluargaan dalam masyarakat hukum yang
bersangkutan, misalnya Patrilineal, Matrilineal, dan Parental.
- Pengoperan warisan
dapat terjadi pada masa pemiliknya masih hidup yang disebut “penghibahan” atau
hibah wasiat, dan dapat terjadi setelah pemiliknya meninggal dunia yang disebut
warisan.
- Dasar pembagian
warisan adalah kerukunan dan kebersamaan serta memperhatikan keadaan istimewa
dari tiap ahli waris
- Adanya persamaan hak para ahli waris
- Harta warisan tidak
dapat dipaksakan untuk dibagi para ahli waris.
- Pembagian warisan
dapat ditunda ataupun yang dibagikan hanya sebagian saja.
- Harta warisan tidak
merupakan satu kestuan, tetapi harus dilihat dari sifat, macam asal dan
kedudukan hukum dari barang-barang warisan tersebut.
3. Sistem Kewarisan Adat
Tiga Kewarisan Adat
yaitu :
1) Sistem kewarisan individual
Harta peninggalan dapat dibagi-bagikan kepada para ahli waris seperti
dalam masyarakat di Jawa
2) Sistem kewarisan kolektif
Harta peninggalan itu diwarisi secara bersama-sama para ahli waris,
misalnya harta pusaka tidak dilmiliki atau dibagi-bagikan hanya dapat
dipakai atau hak pakai.
3) Sistem kewarisan mayorat
Harta peninggalan diwariskan keseluruhan atau sebagian besar jatuh pada
salah satu anak saja.
Sistem kewarisan mayorat dibagi dua yaitu :
a. mayorat laki-laki yaitu harta peninggalan jatuh kepada anak-anak
lakilaki.
b. Mayorat perempuan
yaitu harta peninggalan jatuh pada anak perempuan tertua.
Tidak semua harta
peninggalan dapat diwariskan/ dibagi-bagikan kepada ahli waris, alasan-alasan
harta peninggalan tidak dapat dibagi, yaitu :
a. karena sifatnya seperti barang-barang
milik bersama/ milik kerabat.
b. karena kedudukan hukumnya
seperti barang kramat, kasepuhan, tanahbengkok, tanah kasikepan.
c. karena pembagian warisan ditunda,
misalnya adanya anak-anak yangbelum dewasa.
d. karena belum bebas dari kekuasaan dari
persekutuan seperti tanah milikdesa.
e. karena hanya diwariskan pada satu
golongan saja seperti system kewarisan mayorat.
4. Penghibahan atau
Pewarisan
Dasar pemberian hibah
adalah sebagai koreksi terhadap hukum adat dan untuk memberikan kepastian
hukum.
Hibah ada dua macam
yaitu :
a. Hibah biasa yaitu
pemberian harta kekayaan pada waktu pewaris masih hidup.
b. Hibah Wasiat yaitu
pelaksanaannya setelah pewaris meninggal dunia harta tersebut baru diberikan. Keputusan Mahkamah Agung tanggal 23 agustus 1960 Reg. No. 225 K/Sip/1960
menetapkan syarat-syarat hibah yaitu :
a. Hibah tidak
memerlukan persetujuan ahli waris
b. Hibah tidak
menyebabkan ahli waris yang lain menjadi kehilangan hak atas harta kekayaan
tersebut.
5. Para ahli waris
Yang menjadi ahli waris
yang terpenting adalah anak kandung sendiri. Dengan adanya anak kandung ini
maka anggota keluarga yang lain menjadi tertutup untuk menjadi ahli waris.
Mengenai pembagiannya
menurut Keputusan Mahkamah Agung tanggal 1 Nopember 1961 Reg. No. 179 K/Sip/61
anak perempuan dan anak laki-laki dari seorang peninggal warisan bersama berhak
atas harta warisan dalam arti bahwa bagian anak laki-laki adalah sama dengan
anak perempuan.
Hukum adat waris iini
sangat dipengaruhi oleh hubungan kekeluargaan yang bersifat susunan unilateral
yaitu matrilineal dan patrilineal. Di daearah Minangkabau yang menganut system
matiarchaat, maka apabila suaminya meninggal, maka anak-anak tidak merupakan
ahli waris dari harta pencahariannya, sebab anak-anak itu merupakan warga
anggota famili ibunya sedangkan bapaknya tidak, sehingga harta pencahariannya
jatuh pada sausara saudara sekandungnya.
Di Bali, hanya anak
laki-laki tertua yang menguasai seluruh warisan, dengan suatu kewajiban
memelihara adik-adiknya serta mengawinkan mereka. Di Pulau Sabu yang bersifat
parental harta peninggalan ibu diwarisi oleh anakanak perempuan dan harta
peninggalan bapak diwarisi anak laki-laki.
Beberapa Yurisprudensi
tentang adat waris :
1. Keputusan M..A.
tanggal 18 Amret 1959 Reg. No. 391/K/SIP/1959 mengatakan :
Hak untuk mengisi/
penggantian kedudukan ahli waris yang telah lebih dahulu meninggal dunia dari
pada yang meninggalkan warisan adalah ada pada keturunan dalam garis menurun. Jadi
cucu-cucu adalah ahli waris dari bapaknya.
2. Keputusan M.A.
tanggal 10 Nopember 1959 Reg. No. 141/K/SIP/1959 mengatakan : Penggatian waris
dalam garis keturunan ke atas juga mungkin ditinjau dari rasa keadilan. Pada
dasarnya penggantian waris harus ditinjau pada rasa keadilan masyarakat dan
berhubungan dengan kewajiban untuk memelihara orang tua dan sebaliknya. Didalam
masyarakat adat dikenal juga apa yang disebut dengan :
a. anak angkat
b. anak tiri
c. anak di luar kawin
d. kedudukan janda
e. kedudukan duda
a. Anak Angkat :
Kedudukan hukum anak angkat
di lingkngan hukum adat di beberapa daerah tidak sama .Di Bali perbuatan
mengangkat anak adalah perbuatan hukum yang melepaskan hak anak dari pertalian
orang tua kandungnya, sehingga anak tersebut menjadi anak kandung dari yang
mengangkatnya dengan tujuan untuk melanjutkan keturunannya. Di Jawa perbuatan
mengangkat anak hanyalah memasukkan anak itu kekehidupan rumah tangganya saja,
sehingga anak tersebut hanya menjadi anggota rumah tangga orang tua yang
mengangkatnya, dan tidak memutuskan pertalian keluarga antara anak itu dengan
orang tua kandungnya. Jadi bukan untuk melanjutkan keturunan seperti di Bali. Putusan
Raad Justitie tanggal 24 Mei 1940 mengatakan anak angkat berhak atas
barang-barang gono gini orang tua angkatnya. Sedangkan barang-barang pusaka
(barang asal) anak angkat tidak berhak mewarisinya, (Putusan M.A. tanggal 18
Maret 1959 Reg. No. 37 K/SIP/1959).
b. Anak Tiri
Anak tiri yang hidup
bersama dengan ibu kandungnya dan bapak tirinya atau sebaliknya adalah warga
serumah tangga pula. Terhadap Bapak atau ibu kandungnya anak itu adalah ahli
waris, tetapi terhadap bapak atau ibu tirinya anak itu bukanlah ahli waris
melainkan hanya warga serumah tangga saja.Hidup bersama dalam suatu rumah
tangga membawa hak-hak dan kewajiban-kewajiban antara satu dengan yang lainnya.
Kadang-kadang begitu eratnya hubungan antara anggota rumah tangga, sehingga
anak tiri mendapat hak hibah dari bapak tirinya, bahkan anak tiri berhak atas
penghasilan dari bagian harta peninggalan bapak tirinya demikian sebaliknya.
c. Anak yang lahir diluar
Perkawianan:
Anak yang lahir diluar
perkawinan hanya menjadi ahli waris dari ibunya.
d. Kedudukan Janda ;
Didalam hukum adat
kedudukan janda didalam masyarakat di Indonesia adalah tidak sama sesuai dengan
sifat dan system kekelurgaan. Sifat kekelurgaan Matriachaat : harta warisan
suaminya yang meninggal dunia kembali kekeluarga suaminya atau saudara
kandungnya.
Di Daerah Tapanuli dan
Batak . Isteri dapat mewarisi harta peninggalan suaminya.
e. Kedudukan Duda
Di Daerah Minangkabau dengan
sifat kekeluargaan matrilineal suami pada hakekatnya tidak masuk keluarga
isteri, sehingga duda tidak berhak atas warisan isteri. Di Daerah Batak dan
Bali suami berhak atas warisan isterinya yaitu barang-barang yang dulu dibawa
oleh isterinya. Di Jawa duda berhak mendapat nafkah dari harta kekayaan rumah
tangga setelah isterinya meninggal dunia.
B. HUKUM HUTANG PIUTANG
Dalam suasana hukum
adat, hukum hutang piutang atau hukum perutangan merupakan kaidah-kaidah atau
norma-norma yang mengatur hak-hak anggota-anggota persekutuan atas benda-benda
yang bukan tanah. Hak-hak tersebut ditandaskan dalam hukum perseorangan sebagai
hak milik. Pada umumnya persekutuan tidak dapat menghalangi hak-hak
perseorangan sepanjang hak-hak tersebut mengeani benda-benda yang bukan tanah. Dalam
adat hukum hutang piutang tidak hanya meliputi atau mengatur perbuatanperbuatan
hukum yang menyangkutkan masalah perkreditan perseorangan saja, tetapi juga
masalah yang menyangkut tentang :
1. hak atas perumahan,
tumbuh-tumbuhan, ternak dan barang.
2. sumbang menyumbang,
sambat sinambat, tolong menolong
3. panjer
4. kredit perseorangan.
1) Hak atas perumahan,
tumbuh-tumbuhan, ternak dan barang.
Dalam prinsipnya hak
milik atas rumah dan tumbuh-tumbuhan terpisah daripada hak milik atas tanah
dimana rumah atau tumbuh-tumbuhan itu berada. Jadi ini artinya bahwa sesorang
dapat memiliki rumah dan atau pohon di atas pekarangan orang lain.
Terdapat pengecualian
terhadap prinsip ini yaitu :
a. dalam
transakswi-transaksi tentang pekarangan termasuk praktis selalu rumah dan
tumbuh-tumbuhan yang ada di situ.
b. Kadang-kadang hak
milik atas tumbuh-tumbuhan membawa hak milik atas tanahnya.
c. Hak milik atas tanah
terikat oleh hak milik atas rumah tembok yang ada di situ, satu dan lain karena
rumah tembok itu tidak mudah untuk dipindahkan seperti rumah yang terbuat dari
bamboo atau kayu.Hak milik atas barang Peralihan hak milik atas barang yang
mempunyai kekuatan magis hanya dapat dilakukan dengan transaksi jual atau
barang-barang tersebut dapat pula digadaikan
Tentang benda bergerak
dan tidak bergerak :
1. tanah adalah barang
yang tidak bergerak
2. ternak dan
barang-barang lain adalah barang bergerak.
3. rumah dan
tumbuh-tumbuhan adalah barang yang ada kepastiannya termasuk bergerak atau
tidak, untuk itu wajib dilihat keadannya
2) Sumbang menyumbang,
sambat sinambat, tolong menolong
Dengan dasar sumbang
menyumbang ini timbul perkumpulan yang asa dan tujuannya selain mempererat
ikatan persaudaraan juga memberikan bantuan kepada para anggotanya tersebut
secara bergilir. Apabila diteliti secara mendalam, maka dapat pula digolongkan
dalam perbuatan-perbuatan yang dasarnya juga tolong menolong yaitu :
a. transaksi maro
b. memberi kesempatan
kepada warga persekutuan yang tidak memiliki ternak untuk memelihara ternaknya
dengan perjanjian hasil penjualan atau kembang biak ternak akan dibagi.
c. Kerjasama yang
dilakukan pada penangkapan ikan oleh pemilik perahu dengan nelayan.
3) Panjer (tanda yang
kelihatan)
Perjanjian dengan panjer
lazimnya mengandung janji untuk mengadakan perbuatan kontan. Dalam perjanjian
itu sama sekali tidak ada paksaan dan apabila ada salah satu pihak yang
dirugikan, maka pihak yang lain seringkali membayar kerugian tersebut.
4) Kredit Perseorangan
Dalam praktek, hutang
itu dapat berwujud hutang barang, hutang makanan dan sebagainya, ada pula
hutang uang dengan perjanjian mengembalikan dalam bentuk hasil bumi, hasil
ternak dan sebagainya.Tanggung Menanggung Perasaan kesatuan dan persatuan yang
kuat sekali dalam persekutuan menyebabkan timbulnya kewajiban adat yang
menganggap hutang dari salah satu warga persekutuan atau clan adalah hutang
persekutuan atau clan, sehingga kewajiban melunasi hutang tersebut dapat
diminta kepada salah satu warga persekutuan yang bersangkutan dan tidak perlu
terbatas kepada warga yang melakukan pinjaman tersebut. Hutang dengan Borg atau
Jaminan Hutang dengan jaminan terjadi apabila ada orang ketiga dan orang
tersebut mau menanggung pinjaman tersebut. Kempitan
Semacam perjanjian
dengan komisi, terdapat di Jawa Ngeber. Transaksi ini dijumpai di Jawa Barat
serta berupa suatu transaksi menjualkan barang orang lain. Ijon atau Ijoan .Ijon
adalah perbuatan menjual misalnya tanaman padi yang masih muda. Hasil panen ini
menjadi milik yang membeli pada waktu masih muda. Kalau membeli pda tersebut
pada waktu sudah masak dan sudah waktunya untuk dipanene, maka perbuatan itu
disebut tebasan. Ngaran atau mengaranan anak Di Minahasa dikenal suatu
perjanjian yang istimewa yaitu yang disebut ngaran atau mengaranan anak yang
artinya dimana satu pihak (pemelihara) menanggung pihak lain (terpelihara)
lebih-lebih selam masa tuanya, dan pemelihara atau penanggung menaggung
pemakaian dan pengurusan harta bendanya.
Mirip ngaranan di
Minahasa adalah mahidangraga yang dijumpai di Bali yaitu mengikatkan diri
sendiri berserta harta kekayaan di bawah asuhan orang lain dan orang ini wajib
mengurus segala sesuatu setelah ia meninggal dunia, misalnya pengurusan
pembakaran mayat dan sebagai imbalannya ia berhak mewarisi harta peninggalan.
C. HUKUM PERJANJIAN
Hukum Perjanjian pada
dasarnya mencakup hukum hutang piutang. Dengan adanya perjanjian, maka suatu
fihak berhak untuk menuntut prestasi dan alin fihak berkewajiban untuk memenuhi
prestasi. Prestasi tersebut adalah mungkin menyerahkan benda, atau melakukan
suatu perbuatan, atau tidak melakukan suatu perbuatan.
Bentuk-bentuk darim
perjanjian dalam masyarakt hukum adat adalah :
1. Perjanjian kredit
Perjanjian kredit
merupakan suatu perjanjian meminjamkan uang dengan atau tanpa bunga, atau
barang-barang tertentu yang harus dikembalikan sesuai dengan nilainya
masing-masing pada saat yang telah disepakati. Hasil penelitian lapangan di
Lampung dan Sumatera Selatan menyatakan bahwa peminjaman yang dikenakan bunga
telah lazim terjadi, apabila yang meminjam uang itu adalah orang luar, artinya
yang tidak mempunyai hubungan kekerabatan dengan fihak yang meminjamkan uang
itu. Adanya bunga atau jaminan terhadap pinjaman uang, rupa-rupanya merupakan pengaruh
dari kebiasaan-kebiasaan di kota dari para pendatang. Demikian pila dengan
pinjam-meminjam barang, maka pinjam-meminjam tersebut merupakan suatu hal yang
sudah lazim. Pinjam-meminjam barang ini harus dikembalikan dengan barang
sejenis ataupun dengan uang yang sepadan dengan nilai barang yang dipinjamkan.
2. Perjanjian kempitan
Perjanjian kempitan
merupakan suatu bentuk perjanjian dimana sesorang menitipkan sejumlah barang
kepada fihak lain dengan janji bahwa kelak akan dikembalikan dalam bentuk uang
atau barang yang sejenis. Perjanjian kempitan ini lazim terjadi dan pada
umumnya menyangkut hasil bumi dan barang-barang dagangan. Didalam perjanjian
kempitan, terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi, yaitu antara lain :
a. Harus ada musyawarah
lebih dahulu, kepercayaan dan surat perjanjian.
b. Diadakan batas waktu
pengembalian barang, dan kalu barang tersebut tidak diambil, maka barang itu
dijual atas dasar mufakat.
c. Dalam surat perjanian
itu ditentukan jumlah harga pengembalian barang tersebut
d. Apabila barang yang
dititipkan itu hilang, maka hrus ada penggantian dan apabila barang itu telah
dijual orang yang dititipi barang tersebut harus diberi upah untuk jerih
payahnya. Dengan demikian, dalam perjanjuan kempitan terdapat kecenderungan
bahwa barang yang dititipkan itu harus dikembalikan apabila dikehendaki oleh pemilik
barang dan adanya suatu syarat utama yaitu bahwa antara para fihak harus saling
percaya-mempercayai.
3. Perjanjian tebasan
Perjanjian tebasan
terjadi apabila seseorang menjual hasil tanamannya sesudah tanaman itu berbuah
dan sebentar lagi kan dipetik hasilnya. Perjanjian tebasan ini lazim terjadi
pada padi atau tanaman buah-buahan yang sudah tua dan sedang berada di sawah
ataupun di kebun. Di daerah-daerah tertentu (misalnya beberapa daerah Sumatera
Selatan) perjanjiantebasan merupakan perjanjian yang tidak lazim terjadi dan
ada kecenderungan bahwa perikatan dalam bentuk ini merupakan perjanjian yang
dilarang.
4. Perjanjian perburuhan
Biasakan seseorang
memperkerjakan orang lain yang bukan keluarga tanpa diberi upah berupa uang?
Perihal bekerja sebagai buruh dengan mendapat upah merupakan suatu hal yang
sudah lazim dimana-mana. Dengan demikian terdapat kecenderungan bahwa apabila
memperkerjakan orang lain harus diberi upah dan upah tersebut haruslah berupa
uang.Tetapi ada variasi lain, yaitu bahwa ada kemungkinan seseorang bekerja
tanpa diberi upah berupa uang, akan tetapi segala biaya kehidupannya ditanggung
sepenuhnya. Ter Haar menyatakan bahwa tentang menumpang di rumah orang lain dan
mendapat makan dengan Cuma-Cuma tapi harus bekerja untuk tuan rumah, merupakan
hal yang berulang-ulang dapat diketemukan dan sering bercampur baur dengan
memberikan penumpangan kepada kepada sanak-saudara yang miskin dengan imbangan
tenaga bantuannya di rumah dan di lading.
5. Perjanjian pemegangkan
Apakan lazim bahwa seseorang
menyerahkan suatu benda kepada orang lain sebagai jaminan atas hutangnya ? Di
beberapa masyarakat, pada umumnya perjanjian pemegangkan ini cukup lazim
dilakukan dan pemilik uang berhak mempergunakan benda yang dijaminkan itu
sampai uang yang dipinjamkan itu sampai uang yang dipinjamkan itu dikembalikan.
Akan tetapi, apabila pinjaman uang tersebut dikenakan bunga, maka pemilik uang
itu hanya berkewajiban menyimpan barang tersebut dan tidak berhak untuk
memprgunakannya, karena dia menerima bungan hutang tersebut.
6. Perjanjian
pemeliharaan
Perjanjian pemeliharaan
mempunyai kedudukan yang istimewa dalam hukum harta kekayaan adat. Isi
perjanjian pemeliharaan ini adalah bahwa fihak yang satu – pemelihara menanggung
nafkahnya fihak lain – terpelihara – lebih-lebih selama masa tuanya, pula
menanggung pemakamannya dan pengurusan harta peninggalannya. Sedangkan sebagai
imbalan si pemelihara mendapat sebagian dari harta peninggalan si terpelihara,
dimana kdang-kadang bagian itu sama dengan bagian seorang anak. Perjanjian ini
pada umumnya dikenal antara lain di Minahasa dan persamannya terdapat di Bali
dimana seseorang menyerahkan dirinya bersama segala harta bendanya kepada orang
lain. Orang yang menerima penyerahan sedemikian itu wajib menyelenggarakan
pemakamannya dan pembakaran mayatnya si penyerah, pula wajib memelihara sanak
saudaranya yang ditinggalkan; untuk itu semua maka ia berhak atas harta
peninggalannya.
7. Perjanjian
pertanggungan kerabat
Apakah lazim seseorang
menanggung hutang orang lain yang tidak sanggup melunasi hutang tersebut ? Ter
Haar pernah menulis bahwa dalam hukum adat terdapat perjanjian dimana seseorang
menjadi penanggung hutangnya orang lain. Si penanggung dapat ditagih bila
dianggap bahwa perlunasan piutang tak mungkin lagi diperoleh dari si peminjam
sendiri. Menanggung hutang orang lain, pertama-tama mungkin disebabkan karena
adanya ikatan sekerabat, berhadapan dengan orang luar. Kedua mungkin juga
berdasarkan atas rasa kesatuan daripada sanak saudara. Misalnya dikalangan
orang-orang Batak Karo, seorang laki-laki selalu bertindak bersama-sama atau
dengan penanggunagan anak beru sinina, yaitu sanak saudaranya semenda dan
kerabatnya sedarah yang seakan-akan mewakili golongan-golongan mereka berdua
yang bertanggung jawab. Penelitian di beberapa masyarakat menyatakan kebenaran
dari perkiraan yang diajukan oleh ter Haar di atas. Di Sumatera Selatan
perjanjian pertanggungan kerabat orang lain juga masih lazim dilakukan.
Alasan-alasannya antara lain :
a. Menyangku kehormatan
suku
b. Menyangkut kehormatan
keluarga batih
c. Menyangkut kehormatan
keluarga luas.
8. Perjanjian serikat
Acapkali ada
kepentingan-kepentingan tertentu yang dipelihara oleh anggota masyarakat dalam
berbagai macam kerja sama. Kerja sama dari para anggota masyarakat untuk memenuhi
kepentingan itulah yang menimbulkan serikat, yang didalamnya muncul perikatan
atau perjanjian-perjanjian untuk memenuhi kepentingan tertentu tadi. Sebagai
contoh adalah dimana beberapa orang yang setiap bulan membayar sejumlah uang
tertentu dalam waktu yang telah ditetapkan bersama, misalnya, dalam setiap
bulan. Masing-masing mereka secara bergiliran akan menerima keseluruhan jumlah
uang yang telah dibayarkan itu dan dapat mempergunakan uang tersebut sekaligus
dan juga seluruhnya. Kegiatan yang demikian ini di Jakarta disebut dengan
serikat, di Minangkabau disebut dengan jula-jula, di Salayar disebut dengan
mahaqha dan di Minahasa
disebut mapalus. Tetapi
perlu diingatkan bahwa mapalus di Minahasa mengandung arti rangkap. Pertama-
sebagai bentuk kerjasama yang pada prinsipnya mengandung kegiatan tolong
menolong secara timbale balik, sehingga dapat digolongkan dalam bentuk
perikatan tolong menolong yang merupakan “wederkeng hulpbetoon”. Kedua adalah
bentuk kerja sama dalam kegiatan yang telah diuraikan di muka. Bentuk kerja
sama tersebut, kini telah mengalami perkembangan dan tidak semata-mata
menyangkut uang saja, akan tetapi juga berkaitan dengan pelbagai keperluan,
seperti keperluan rumah tangga, dan lain sebagainya. Kegiatan tersebut juga
sudah meluas dalam
masyarakat, dan lazim
disebut arisan.
9. Perjanjian bagi hasil
Menurut ter Haar, maka
transaksi ini merupakan suatu perikatan, dimana obyek transaksi bukanlah tanah,
akan tetapi pengolahan tanah dan tanaman di atas tanah tersebut. Proses
tersebut mungkin terjadi, oleh karena pemilik tanah tidak mempunyai kesempatan
untuk mengerjakan tanahnya sendiri, akan tetapi berkeinginan untuk menikmati
hasil tanah tersebut. Maka, dia dapat mengadakan perjanjiandengan fihak-fihak
tertentu yang mampu mengerjakan tanah tersebut, sengan mendapatkan sebagain
dari hasilnya sebagai upah atas jerih payahnya. Transaksi semacam ini dapat
dijumpai hamper di seluruh Indonesi, dengan pelbagai variasi, baik dari sudut
penanamannya, pembagian hasilnya, dan seterusnya. Di daerah Sumatera Barat
(Minangkabau), transaksi ini dikenal dengan nama “mampaduoi” atau “babuek sawah
urang”. Perjanjian bagi hasil tersebut didalam kenyataannya dilakukan secara
lisan (dihadapan kepala adat), dan tergantung dari factor kesuburan tanah,
penyediaan bibit, jenis tanaman dan seterusnya. Apabila tanah yang akan
dikerjakan akan dijadikan sawah, sedangkan benih padi disediakan oleh pemilik
tanah, maka hasilnya dibagi dua antara pemilik tanah dengan penggarap, tanpa
memperhitungkan nilai benih serta pupuknya. Perjanjian semacam ini disebut
“mempaduoi”. Lain halnya, apabila tanah keras, ldang atau sawah yang akan
dikerjakan, ditanami dengan palawija, dimana pemilik tanah menyediakan bibit
serta pupuk. Hasilnya tetap dibagi dua, akan tetapi dengan memperhitungkan
harga bibit dan pupuk; perjanjian semacam ini disebut “saduo bijo”. Perjanjian
tersebut dapat diteruskan (atau dihentikan) oleh ahli waris, apabila pemilik
tanah penggarapn meninggal. Di Jawa Tengah, maka perjanjian tersebut tergantung
pada kualitas tanah,
macam tanaman yang akan
dikerjakan, serta penawaran buruh tani. Kalau kualitas tanah baik, misalnya,
maka pemilik tanah akan memperoleh bagian yang lebih besar. Dengan demikian,
maka ketentuan-ketentuannya adalah, sebagai berikut :
a. Pemilik tanah dan
penggarapnya memperoleh bagian yang sama (“maro”)
b. Pemilik tanah
memperoleh 2/3 bagian (“mertebu”)
c. Pemilik tanah
mendapat 1/5 bagian untuk tanaman kacang.
Khususnya di Bali
Selatan, perjanjian bagi hasil penerapannya disebut “sakap menyakap” (Koentjaraningrat
1967:60). Ketentuan-ketentuannya adalah,
sebagai berikut :
a. Pemilik tanah dan
penggarapnya memperoleh bagian yang sama, yaitu masing-masing ½ (”nandu”).
b. Pemilik tanah
mendapat 3/5 bagian dan penggarap 2/5 bagian (“nelon”)
c. Pemilik tanah
mendapat 2/3 bagian dan penggarap 1/3 bagian (“ngapit”).
d. Pemilik tanah
mendapat ¾ bagian, sedangkan penggarap ¼ bagian (“merapat”)
Mengenai perjanjian bagi
hasil atau “sharecropping” ini, sebetulnya telah diatur didalam Undang_Undang
Nomor 2 tahun 1960, yang intinya adalah :
a. Penentuan bagian yang
didasarkan pada kepentingan penggarap dan kualitas tanah, dengan ketentuan
penggarap memperoleh ½ bagian atau 2/3 bagian.
b. Atas dasar kualitas
dan tipe tanah, perjanjian bagi hasil berjangka waktu antara 3 sampai 5 tahun.
c. Kepala Desa mengawasi
perjanjian-perjanjian bagi hasil.
10. Perjanjian ternak
Ter Haar menyatakan “
Pemilik ternak menyerahkan ternaknya kepada fihak lain untuk dipelihara dan
membagi hasil ternak atau peningkatan nilai dari hewan itu” .Di Sumatera Barat (Minangkabau)
dikenal dengan nama “paduon taranak” atau “saduoan taranak”. Mengenai hal ini,
lazimnya berlaku ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
1. Jika ternak itu
ternak betina, maka setelah beranak, anaknya itu dibagi sama banyaknya antara
si pemilik dan si pemelihara, atau dipatut harga induknya, kemudian anaknya
dibagi dua sama banyak, dan kelebihan harga induknya yang dipatut itu dibagi
dua pula. Kelebihan harga induk adalah dari harga waktu penyerahan dan waktu
akan membagi.
2. Jika ternak itu
ternak jantan, maka sewaktu diserahkan pada pemelihara harus ditentukan
harganya, kemudian setelah dijual laba dibagi dua.Kalau dijual sebelum beranak
maka ketentuannya adalah :
- Jika induknya dahulu
dipatut harganya, maka laba dibagi dua
- Jika induknya dahulu
tidak dipatut harganya, maka kepada pemelihara diberikan sekedar uang jasa
selama ia memelihara ternak tersebut, besarnya tergantung kepada pemilik
ternak, sifatnya hanya social saja.
- Kalau ternak iitu
mandul, maka dijual, biasanya dikeluarkan juga uang
rumput pemeliharaan, dan
pemelihara mempunyai hak terdahulu jika ia ingin membeli atau memeliharanya
kembali.
- Jika ternak itu mati
ditangan si pemelihara..., biasanya kedua fihak pasrah kepada kedua tkdir
tersebut. Di Daerah Lampung, maka lzimnya berlaku ketentuan-ketentuan, sebagai
berikut (Soerjono Soekanto 1975 : 46) :
a. Pada ternak besar,
hasilnya dibagi sama rata
b. Kalau pokoknya mati,
maka harus diganti dengan hasil pertama
c. Pad unggas, maka bagi
hasil tergantung pada musyawarah antara para fihak
Didalam keputusannya
tertanggal 23 Oktober 1954 nomor 10/1953, pengadilan negeri Tapanuli Selatan
menetapkan bahwa menurut hukum adat di Tanah Batak, tentang pemelihraan kerbau,
adalah sebagai berikut :
a. Kalau seekor kerbau
mati dalam pemeliharaan, yaitu kelihatan bangkainya, tidak diganti oleh
pemelihara.
b. Kalau kebau itu mati
karena tidak dipelihara atau liar ataupun hilang, yang memeliharanya harus
menggantikannya sebesar kerbau yang mati, liar atau hilang itu, atau membayar
seharga kerbau yang mati, liar atau hilang itu. In casu seekor kerbau yang mati
karena masuk lubang di padangan, dianggap mati dalam pemeliharaan. Didalam
kasasi, maka Mahkamah Agung memutuskan, bahwa bila ada kerbau yang hilang atau
mati karena masuk lubang, maka sangat sulit untuk menentukankesalahan dari
fihak pemelihara. Dengan demikian, maka sepatutnya resiko ditanggung oleh kedua
belah fihak, secara sebanding (Keputusan Mahkamah Agung tertanggal 2 April
1958, nomor 348 K/Sip/1957).
Comments