HUKUM AGRARIA: SISTEM HUKUM INDONESIA
HUKUM AGRARIA
Manusia sebagai individu sebagai
bagian dari masyarakat, mempunyai tujuan kodrat untuk mencapai tujuan hidupnya
sedemikian rupa sehingga hidup manusia selengkapnya di dalam masyarakat dapat
terselamatkan.
Adanya kebutuhan kodrat,
menimbulkan kebutuhan pula untuk saling melengkapi antara sesama anggota
masyarakat.Adanya kebutuhan kodarat dan kebutuhan saling melengkapi dalam hidup
bermasayarakat, maka individu sebagai bagian masyarakat yang merasa dirinya sebagai
kesatuan, semuanya tunduk atau paling tidak sadar akan adanya peraturan2
(norma2) yang berlaku terhadap mereka (dirinya) yang harus ditaati dalam
tingkahlaku2. Kesemuanya itu dirangkum dalam suatu proses penyelamatan hidup
selengkapnya Sebagai konsekwensi adanya peraturan2 (norma) yang harus ditaati,
maka tertib tersebut mengikatkan sanksi yang berupa pidana. Tertib demikian
disebut hukum. Oleh karena tertib yang demikian itu merupakan saluran
tingkahlaku2 warga masyarakat, maka teramat banyaklah jumlah norma2 dan
lembaga2 hukum tersebut. Jumlah itu berkembang terus sesuai dengan perkembangan
kebudayaan manusia. Dalam perkembangan selanjutnya, untuk memudahkan
penyelenggaraan dan pengua- saannya, serta untuk tetap terpeliharanya
kemanfaatannya, ilmu hukum melakukan sistimatikanya terhadap keseluruhan norma
dan menyusunnya kedalam suatu tatanan yang disebut dengan Tata Hukum Bangsa,
yang masing2 diberi nama tersendiri serta seberapa mungkin dipelihara sebagai
suatu cabang hukum (rechtsvak). Dewasa ini di Indonesia, hukum agraria diterima
dan diperlakukan sebagai cabang hukum. Untuk itu harus diindahkan persyaratan
ilmiahnya, yaitu harus ada suatu bahan yang merupakan materi atau obyek yang
diselidiki dan dipelajari.
Pengertian Hukum Agraria
Hukum agraria memberi lebih
banyak keleluasaan untuk mencakup pula di dalamnya berbagai hal yang mempunyai
hubungan pula dengannya, tetapi tidak melulu mengenai tanah.
Subekti menjelaskan bahwa
“Agraria adalah urusan tanah dan segala apa yang ada di dalamnya dan di atasnya,
seperti telah diatur dalam Undang-undang Pokok Agraria.
Menurut Lemaire hukum agraria
sebagai suatu kelompok hukum yang bulat meliputi bagian hukum privat maupun
bagian hukum tata negara dan hukum administrasi negara.
Merumuskan Agrarische Recht sebagai
keseluruhan peraturan-peraturan hukum mengenai usaha dan tanah pertanian,
tersebar dalam berbagai bidang hukum (hukum perdata, hukum pemerintahan) yang
disajikan sebagai satu kesatuan untuk keperluan studi tertentu.
Obyek atau Materi Hukum Agraria
Menurut Prof. A. Suhardi, materi
atau obyek yang dipelajari dan diselidiki Hukum Agraria terdiri atas materi
(obyek) materiil dan formil.
Materi (obyek) Materiil. Materi
(obyek) materiil Hukum Agraria,adalah Undang-Undang Pokok Agraria, yang mulai
berlaku mulai tanggal 24 – September – 1960 (hari sabtu), diundangkan dalam
Lembaran Negara (LN) tahun 1960 No. 104. Sedang Penjelasannya dimuat dalam
Tambahan Lembaran Negara (TLN) No. 2043. Singkatan resminya adalah UUPA. Untuk
mengetahui materi (obyek) materiil ini dapat dilihat pada bagian kalimat dari
pasal 5 UUPA yang berbunyi : "Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air
dan ruang angkasa.. ……". Dengan bagian kalimat tersebut, tertunjuklah
materi materiil cabang hukum Hukum Agraria Fungsi materi (obyek) materiil,
adalah untuk menggariskan batas2 hukum agraria dengan cabang2 hukum lain,
sehingga tidak terjadi simpang siur (overlepping / dublures).
Materi (Obyek) Formil. adalah titik pemusatan
dan penyatuan bulat dari keseluruhan massa norma2 atau hubungan2 hukum dari
rechtvak hukum agaria. Yang disebut dalam ilmu hukum dengan "keseluruhan
massa norma2 atau hubungan hukum" tersebut, sesungguhnya adalah semua
peraturan yang berhubungan dengan bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian materi (obyek) formil Hukum
Agraria adalah semua peraturan yang berhubungan dengan bumi, air, ruang angkasa
dan kekayaan alam Obyek formil timbul dalam rangka masyarakat (bangsa atau
Negara) mengorganisasi yuridis materi (obyek) materiil dalam hubungannya dengan
hidup bermasyarakat yang tertib hukum.
Tempat Hukum Agraria Dalam Tata Hukum Indonesia.
Apakah Hukum Agraria itu menjadi bagian dari suatu kelompok bidang
hukum tertentu ataukah suatu bidang hukum yang berdiri sendiri ?
Sebelum lahirnya (berlakunya)
UUPA, Hukum Agraria (pada waktu itu - lebih tepat disebut Hukum Tanah) menjadi
bagian dari Hukum Adat, Hukum Barat, Hukum Antar Golongan, dan Hukum
Adminstrasi, yang dengan demikian menjadi bagian suatu bidang hukum tertentu.
Untuk itulah, maka dalam rangka Hukum Agraria yang baru (setelah keluarnya
UUPA) perlu dipertanyakan, dimana tempat Hukum Agraria itu dalam Tata Hukum
Nasional Indonesia. Menurut Utrecht, bahwa hukum agraria atau hukum tanah
menjadi bagian dari hukum tata usaha Negara yang menguji perhubungan2 hukum
istimewa yang di adakan akan memung- kinkan para pejabat yang bertugas yang
mengurus soal-soal agraria, melakukan tugas mereka. Pandangan yang demikian
ini, setelah berlakunya UUPA masih tetap dipertahankan. Dimana hak-hak atas
tanah menurut UUPA dibicarakan didalam golongan2 hak-hak kebendaan dan hak-hak
adat (lindung, magersari, maro) didalam persoalan hukum adat. Akan tetapi
Utrecht menyadari juga, adanya pandangan lain yang melihat bagian administrasi
negara agraria begitu penting dan berdiri sendiri. Sehingga mereka membicarakan
soal-soal agraria secara ilmu hukum yang berdiri sendiri, yaitu Ilmu Hukum
Agraria (Ilmu Hukum Tanah). Akan tetapi yang demikian itu masih merupakan satu
bagian dari Hukum Administrasi agraria. Apa yang diuraikan Utrecht tersebut,
menurut Boedi Harsono, adalah Hukum Agraria Administrasi, yang merupakan salah
satu bagian dari Hukum Agraria. Dengan demikian, disatu pihak Utrecht
mengatakan Hukum Agraria (Hukum Tanah) itu merupakan bagian dari Hukum
Administrasi Negara, dilain pihak, Boedi Harsono, mengatakan Hukum Agraria
Administrasi itu bagian dari Hukum Agraria (Hukum Agraria yang dimaksud Boedi
Harsono disini, bukan hukum agraria sempit - hukum tanah - tetapi hukum agraria
dalam arti luas). Pandangan yang senada dengan Utrecht, dikemukakan oleh
Soeharsono (mantan Dekan Fak. Hukum UJ), beliau mengemukakan, sebelum adanya
UUPA, Hukum Agraria (hukum Tanah) diatur dalam Buku II BW, tetapi setelah
keluarnya UUPA yang dengan tegas menghapus Buku II BW, dapat dianalogikan, UUPA
itu sebagai pengganti Buku II BW. Menurut Lemaire, sungguhpun campur tangan
Negara didalam soal-soal agraria di Sovyet Uni mendalam, tetapi kaidah-kaidah
agraria tidaklah dimasukkan kedalam Hukum Administrasi Negara, melainkan mendapat
tempat tersendiri sebagai cabang khusus dari hukum Sovyet Uni. Di dalam buku
"Fundamentals of Law", Land Law dibicarakan tersendiri disamping,
misalnya Constitutional Law, Administratrative Law, Civil Law, Labour Law dan
lain-lain.
Bagaimana kenyataan sekarang di dalam Tata Hukum Indonesia, dimana
letak Hukum Agraria itu ?
Di dalam Tata Hukum Indonesia
sebelum berlakunya UUPA, Hukum Agraria meliputi kaidah2 hukum yang beraneka
macam dan sifat. Kaidah2 mana tidak dibicarakan dalam rangkaian yang berdiri
sendiri, tetapi sebagai bagian dari Hukum Adat, Hukum Perdata (Barat), Hukum
Antar Golongan, Hukum Administrasi. Setelah berlakunya UUPA, terjadilah
perombakan yang revolusioner dari Hukum Agraria Indonesia, berupa penjebolan
Hukum Agraria lama dan pembangunan Hukum Agraria yang baru, sehingga
terselenggaralah unifikasi hukum dibidang Hukum Agraria. Dengan unifikasi hukum
ini, Maka kaidah2 Hukum Agraria dapat dibicarakan dan dipelajari dalam satu
kesatuan dan tidak lagi dibicarakan secara terpisah. Dengan demikian dalam Tata
Hukum Indonesia, Hukum Agraria merupakan hukum yang berdiri sendiri dan tidak
menjadi bagian dari yang lain.Tegasnya, di Indonesia, Hukum Agraria diterima
dan diberlakukan sebagai cabang hukum (rechtsvak).
Politik hukum pertanahan pada
jaman HB dengan asas Domein dan Agrarische Wet ditujukan untuk kepentingan
Pemerintah Jajahan dan Kaula Negara tertentu yang mendapat prioritas dan
fasilitas dalam bidang penguasaan dan penggunaan tanah sedangkan golongan bumi
putra kurang mendapatkan perhatian dan perlindungan.
Menurut Agrarische Wet pemerintah
HB bertindak sama kedudukannya dengan orang, tampak adanya campur tangan
pemerintah dalam masalah agraria pada umunya, sedangkan setelah Indonesia
merdeka pemerintah bertindak selaku penguasa.
Hukum agraria Negara RI bertujuan
untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat untuk menuju masyarakat adil
dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 45 (Pasal 33 ayat 3).[1]
UU No. 5 Tahun 1960 mengatur:
1. Hubungan hukum antara bangsa
Indonesia dengan BARA+K (bumi, air, ruang udara dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya) yang terkandung di dalamnya.
2. Hubungan hukum antara negara
sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat Indonesia dengan BARA+K yang
terkandung di dalamnya.
Atas dasar hak menguasai
tersebut maka negara dapat:
Menentukan bermacam-macam hak
atas tanah
Mengatur pengambilan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya
Membuat perencanaan/planning
mengenai penyediaan, peruntukan dan penggunaan BARA+K yang terkandung di
dalamnya.
Mencabut hak-hak atas tanah untuk
keperluan kepentingan umum.
Menerima kembali tanah-tanah
yang:1) ditelantarkan 2). dilepaskan 3).
subyek hak tidak memenuhi syarat
Mengusahakan agar usaha-usaha di
lapangan agraria diatur sedemikian rupa sehingga meningkatkan produksi dan
kemakmuran rakyat.
Tujuan diberikannya hak menguasai
kepada negara ialah untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan
dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka,
berdaulat, adil dan makmur. Hak negara untuk menguasai pada hakekatnya memberi
wewenang kepada negara untuk: mengatur dan menyelenggarakan peruntukan,
penggunaan, persediaan dan pemeliharaan BARA+K.
3. Hubungan antara orang baik
sendiri-sendiri dan badan hukum dengan BARA+K yang terkandung di dalamnya.Yang
dimaksud dengan hak atas tanah ialah: “Hak yang memberikan wewenang untuk
mempergunakan permukaan bumi atau tanah yang bersangkutan demikian pula tubuh
bumi dan air serta ruang angkasa yang ada di atasnya, sekedar diperlukan untuk
keperluan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu, dalam
batas-batas menurut UU ini dan peraturan hukum lain yang lebih tinggi.
Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Hukum Agraria Dlm
Tata Hukum Indonesia
Menurut UUPA
Dengan lahirnya UU No. 5 Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) yang bertujuan:
1.Meletakkan dasar-dasar bagi
penyusunan hukum agraria nasional
2.Meletakkan dasar-dasar untuk
mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan
3.Meletakkan dasar untuk
memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat.
Berdasarkan tujuan pembentukan
UUPA tersebut maka seharusnyalah kaidah-kaidah hukum agraria dibicarakan oleh
suatu cabang ilmu hukum yang berdiri sendiri, yaitu cabang ilmu hukum agraria.
Menurut Prof Suhardi, bahwa untuk
dapat menjadi suatu cabang ilmu harus memenuhi persyaratan ilmiah yaitu:
Persyaratan obyek materiil Yaitu
bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
Persyaratan obyek formal Yaitu
UUPA sebagai pedoman atau dasar dalam penyusunan hukum agraria nasional.
Berdirinya cabang ilmu hukum
agraria kiranya menjadi sebuah tuntutan atau keharusan, karena:
1. Persoalan agraria mempunyai
arti penting bagi bangsa dan negara agraris.
2. Dengan adanya
kesatuan/kebulatan, akan memudahkan bagi semua pihak untuk mempelajarainya.
Disamping masalah agraria yang
mempunyai sifat religius, masalah tanah adalah soal masyarakat bukan persoalan
perseorangan.
Landasan Hukum Agraria
Landasan Hukum Agraria islah
ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 45 merupakan sumber hukum materiil dalam
pembinaan hukum agraria nasional.
Hubungan Pasal 33 (3) UUD 45 dengan UUPA:
Dimuat dalam Konsideran UUPA,
Pasal 33 (3) dijadikan dasar hukum bagi pembentukan UUPA dan merupakan sumber
hukum (materiil) bagi pengaturannya. “bahwa hukum agraria tersebut harus pula
merupakan pelaksanaan dari pada Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, ketentuan
dalam pasal 33 Undang-undang Dasar dan Manifesto Politik Republik Indonesia,
sebagai yang ditegaskan dalam pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1960, yang
mewajibkan Negara untuk mengatur pemilikan tanah dan memimpin penggunaannya,
hingga semua tanah diseluruh wilayah kedaulatan bangsa dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat, baik secara perseorangan maupun secara
gotong-royong”
Dalam penjelasan UUPA angka 1.
“hukum agraria nasional harus mewujudkan penjelmaan dari pada azas kerokhanian,
Negara dan cita-cita Bangsa, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Perikemanusiaan,
Kebangsaan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial serta khususnya harus merupakan
pelaksanaan dari pada ketentuan dalam pasal 33 Undang-undang Dasar dan
Garis-garis besar dari pada haluan Negara….”
Pengaturan keagrariaan atau
pertanahan dalam UUPA yaitu untuk mengatur pemilikan dan memimpin
penggunaannya, harus merupakan perwujudan dan pengamalan dasar negara pancasila
dan merupakan pelaksanaan dari UUD 45 dan GBHN.Bahwa UUPA harus meletakkan
dasar bagi hukum agraria nasional yang akan dapat membawa kemakmuran,
kebahagiaan, keadilan serta kepastian hukum bagi bangsa dan negara.
Kebijakan Agraria Indonesia
Kebijakan Agraria Di Indonesia
Dari Masa Ke Masa (disampaikan dalam rangka Rapat Pimpinan Asosiasi Petani
Indonesia, 11 Desember 2007) Oleh: Nursyahbani Katjasungkana, SH Anggota
Komisi II (Agraria, Pemda, Otoda) DPR RI
Kebijakan Agraria
Kebijakan Agraria di Indonesia
tidak dapat dilepaskan dari sejarah bangsa Indonesia. Karena itu dalam
pemaparan mengenai Kebijakan Agraria ini digunakan pendekatan kronologis dengan
merunut dari masa kolonial Belanda di Indonesia. Untuk memudahkan pemahaman
maka pemaparan akan dibagi menurut periodisasi waktu mengikuti perubahan
politik yang terjadi dalam sejarah bangsa kita, mengingat bahwa kebijakan
adalah produk politik.
Jaman Kolonial
Pada masa pemerintah kolonial
Belanda mengintrodusir kebijakan agraria yang dikenal dengan Agrarische Wet
1870 di Hindia Belanda. UU Agraria 1870 inilah yang kemudian membuka pintu bagi
masuknya modal besar swasta asing, khususnya Belanda ke Indonesia, dan lahirlah
sejumlah banyak perkebunan besar di Jawa dan Sumatera. Ternyata kemudian,
sistem ekonomi perkebunan besar ini menyengsarakan rakyat.
Jaman Kolonial
Berbagai kritik dari sejumlah
intelektual Belanda sendiri terhadap Agrische Wet 1870, antara lain Prof van
Gelderen dan lain-lain.
Kata-kata Prof van Gelderen
sangat terkenal, yang sampai sekarang ini juga banyak dikutip orang, yaitu: “
Bangsa Indonesia (karena kebijakan Agrarishce Wet) akan menjadi bangsa koelie
”, dan menjadi “ koelie di antara bangsa-bangsa! ”. Hal ini terbukti, tidak
saja dengan catatan sejarah kita tentang kuli kontrak di perkebunan-perkebunan
dengan kisah yang memilukan, tetapi menjadi suatu keadaan yang sampai hari ini
terus terjadi. Kita menyaksikan hari ini fenomena migrasi dari
pedesaan-pedesaan kita ke kota-kota besar dan bahkan ke luar negeri, dimana 70%
lebih yang terusir dari kampung halaman itu adalah para perempuan.
Jaman Kolonial
Karena banyak kritik, maka
pemerintah kolonial Belanda lalu melakukan penelitian mengenai “menurunnya
kesejahteraan rakyat” ( mindere welvaarts onderzoek -MWO). Kesengsaraan rakyat
menjadi terbukti!
Pemerintah kolonial lalu menambil
langkah kebijakan yang dikenal sebagai “Ethical Policy” (Ethische Politiek):
enam program perbaikan, yaitu irigasi, reboisasi, kolonisasi (transmigrasi),
pendidikan, kesehatan dan perkreditan.
Politik Etis (kecuali kesehatan),
langsung atau tidak langsung, berkaitan dengan masalah agraria. Tapi ternyata
tidak banyak mengubah keadaan. Bahkan sengketa-sengketa agraria juga merebak di
mana-mana, dan pada tahun 1929—1933, Hindia Belanda mengalami krisis ekonomi
yang sangat berat.
Jaman Kolonial
Catatan Terhadap Politik Etis:
Pendidikan. Karena kolonialisme
Belanda itu sifatnya ekstraktif, mengeduk sumber alam. Pendidikan baru dibangun
pada awal abad ke-20, dan itupun bukan tingkat universitas. Saat Indonesia
merdeka tahun 1945, di sini belum ada universitas. Yang ada hanya beberapa
“sekolah tinggi” (teknik, kedokteran, hukum). Apa relevansi semua ini bagi
masalah agraria? Berbeda dari berbagai negara bekas jajahan Inggris atau
Spanyol, di Indonesia jumlah “pakar agraria” menjadi sangat terbatas, akibat
keterbelakangan pendidikan tersebut. Sebelum Indonesia merdeka, hampir tidak
ada pejuang (baik sipil maupun militer) yang mengangkat isu agraria sebagai
platform perjuangan (kecuali dua orang, Soekarno dan Iwa Kusuma Sumantri).
Perkreditan Program perkreditan
dalam Politik etis tersebut dalam pelaksanaannya di pedesaan mengalami hambatan
karena terjadinya pertentangan paham antara Kementerian Keuangan dan
kementerian Tanah Jajahan. Di Keuangan, pos-pos penting diduduki oleh
pejabat-pejabat Belanda yang didominasi oleh pemikiran ekonomi neo-klasik
(aliran Prof. Gongrijp), sedangkan para Pamong praja Belanda umumnya adalah
penganut pemikiran neo-populis (murid-murid Prof. J.H. Boeke).
Masa Pendudukan Jepang (1942—1945 / Perang Dunia II)
Petani dibebani pajak bumi
sebesar 40% dari hasil produksinya. Hal ini tentu semakin memperparah
kemiskinan.
Perkebunan-perkebunan besar
menjadi terlantar karena ditinggalkan oleh pemiliknya (Belanda maupun modal
asing lainnya). Dengan adanya lahan-lahan perkebunan yang terlantar dan
kemiskinan yang parah di masyarakat, maka berbondong-bondonglah rakyat
menduduki tanah-tanah bekas perkebunan yang terlantar tersebut. Pemerintah
pendudukan Jepang ternyata memberi toleransi bahkan mendorong tindakan rakyat
tersebut. Secara sosiologis, kenyataan ini telah menciptakan suatu collective
perception di antara rakyat, bahwa seolah-olah mereka telah memperoleh kembali
haknya atas tanah yang dulu dicaplok oleh Belanda (dan modal asing lainnya
melalui UU Agraria kolonial 1870.
Awal Indonesia Merdeka (1945—1960)
Belajar dari pengalaman masa
kolonial, ditarik pelajaran bahwa sistem ekonomi perkebunan besar ternyata
menyengsarakan rakyat, terutama karena telah menggusur tanah-tanah luas yang
semula menjadi garapan rakyat.
Setelah Jepang menyerah kepada
pasukan Sekutu, Jendral Mc Arthur memerintahkan Kaisar Hirohito untuk
melaksanakan Landreform.
Begitu merdeka, para pendiri
Republik menjadikan pusat perhatian utama di bidang sosial-ekonomi haruslah
diletakkan pada perencanaan untuk “menata-ulang” masalah pemilikan, penguasaaan
dan penggunaan tanah. Sekitar setengah tahun Indonesia merdeka, Wakil Presiden,
Bung Hatta (sebagai seorang ekonom) telah menguraikan masalah “ekonomi
Indonesia di masa depan”. Di antara berbagai uraian beliau yang penting di masa
lalu itu, ada dua butir yang perlu disebut dan dikemudian turut menjiwai isi
dan semangat UUPA 1960), yaitu: (a) tanah-tanah perkebunan besar itu dahulunya
adalah tanah rakyat; (b) bagi bangsa Indonesia, tanah jangan dijadikan barang
dagangan yang semata-mata digunakan untuk mencari keuntungan (komoditi
komersial).
Awal Indonesia Merdeka (1945—1960)
Period 1945—1950: Uji coba
landreform
UU No. 13/1946 Landreform di
daerah Banyumas.
UU Darurat No. 13/1948 Landreform
di daerah Istimewa Yogyakarta dan Surakarta.
1948 itu pula dibentuklah sebuah
Panitia Negara yang bertugas mengembangkan pemikiran dalam rangka mempersiapkan
Undang-Undang Agraria yang baru, Undang-Undang Nasional, untuk menggantikan UU
Agraria kolonial 1870.
Namun, karena adanya agresi
Belanda (Clash ke-2, Desember 1948—Agustus 1949) maka panitia dibubarkan.
Awal Indonesia Merdeka (1945—1960)
Setelah berbagai gejolak
sepanjang masa RIS dan Setelah Indonesia kembali menjadi NKRI, Panitia Agraria
Yogya (1948) kemudian dihidupkan kembali pada tahun 1951 dengPanitia Agraria
Yogya (1948) kemudian dihidupkan kembali pada tahun 1951 dan dikenal sebagai
Panitia Agraria Jakarta.
Sistem parlementer membuat
kebinet jatuh-bangun dalam waktu singkat, kepanitiaan Agraria pun dua kali
mengalami perubahan komposisi dan pengurus (Panitia Suwahyo, 1956; dan Panitia
Soenaryo 1958).
Awal Indonesia Merdeka (1945—1960)
Dengan berbagai masukan dari
panitia-panitia sebelumnya, Panitia ini akhirnya berhasil menyiapkan RUU yang
siap untuk diajukan ke DPR. Namun, atas saran Presiden Soekarno, RUU tersebut
digodog kembali oleh kerjasama DPR dengan Universitas Gajah Mada (UGM).
Hasil kerjasama DPR-UGM itu
kemudian diajukan ke DPR. Tanggal 24 September 1960 RUU ini disahkan oleh DPR
dan ditetapkan sebagai UU No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agaria
(dikenal sebagai UUPA 1960). Demikianlah proses panjang kelahiran UUPA 1960.
Awal Indonesia Merdeka (1945—1960)
Periode 1950—1960: Situasi yang dilematis
Di satu pihak, gagasan awalnya
bahwa proyek utama reform itu adalah tanah-tanah perkebunan dengan hak erfpacht
, tanah-tanah absentee, bekas tanah-tanah partikelir, dan tanah-tanah
terlantar. Tapi, di lain pihak, pemerintah -sekalipun sudah kembali menjadi
NKRI, dan bukan lagi RIS sebagaimana tuntutan KMB- tetap terikat oleh
perjanjian KMB yang mengandung ketentuan bahwa rakyat harus dikeluarkan dari
tanah-tanah perkebunan milik modal swasta Belanda itu. Barangkali, dilemma
inilah salah satu sebab yang turut mempengaruhi mengapa proses perumusan UUPA
menjadi begitu panjang (12 tahun).
Tahun 1957 akhirnya Indonesia
membatalkan perjanjian KMB, dan tahun 1958 menasionalisasi
perkebunan-perkebunan besar milik asing, serta melalui UU No. 1/1958
menghapuskan tanah-tanah partikelir.
Periode 1960—1965:demokrasi terpimpin
Semula periode ini direncanakan
sebagai target masa pelaksanaan reforma agraria. Tetapi karena berbagai
pergolakan, konsentrasi pikiran pemerintah menjadi terpecah. Berbagai masalah
yang dihadapi waktu itu, antara lain karena pemerintah masih harus menghadapi
masalah penyelesaian sisa-sisa pemberontakan PRRI/Permesta; tindak lanjut
nasionalisasi perkebunan; perjuangan untuk kembalinya Irian Barat; dan
konfrontasi dengan Malaysia. Semua masalah ini menjadi hambatan tersendiri
untuk segera terlaksananya reforma agraria.
Pada sisi lain, karena UUPA 1960
itu baru berisi peraturan dasar, maka masih banyak pasal-pasal yang sedianya
akan dijabarkan lebih lanjut ke dalam peraturan ataupun undang-undang yang lebih
operasional. Namun, karena kondisi seperti tersebut di atas, maka hal itu
sebagian besar belum sempat tergarap. Penjabaran terpenting yang sudah
dilakukan adalah ditetapkannya UU No. 56/1960 (yang semula dalam bentuk
Peraturan Pemerintah Pengganti UU), yang kemudian secara populer dikenal
sebagai UU Landrform, yaitu tentang “Penetapan Luas Tanah Pertanian”.
Periode 1960—1965/Demokrasi Terpimpin
Karena kekurangan pakar agraria
yang berpengalaman dalam hal landrefom, maka Menteri Agraria (alamarhum Sadjarwo)
melakukan konsultasi dengan seorang pakar dari Amerika Serikat, yaitu Dr. Wolf
Ladejinsky (mantan Atase Pertanian Amerika di Jepang, yang membantu Jenderal
Mac Arthur sewaktu melaksanakan landrefom di Jepang).
Hasil Penelitian Ladejinsky:
Pertama , antara gagasan dan
tindakan pelaksanaan tidak konsisten, tidak nyambung ( disjointed ). Gagasannya
revolusioner tapi pelembagaan pelaksanaannya rumit. Birokrasi di Indonesia
berbelit-belit. Data tidak akurat, sehingga pelaksanaan redistribusi menjadi
sulit dan mengalami hambatan di lapangan. (Barangkali, inilah juga yang secara
politis mendorong PKI melakukan aksi sepihak, yang menimbulkan trauma dan
melahirkan stigma bahwa landrefom sama dengan PKI).
Periode 1960—1965/Demokrasi Terpimpin
Kedua , model redistribusi tidak
sesuai dengan kondisi obyektif yang ada. Batas minimum 2 hektar diberlakukan
secara menyeluruh dianggap tidak realistis. Beberapa konsepnya, definisinya
tidak jelas. Misalnya, siapa, dan berapa jumlahnya orang yang berhak menerima
redistribusi tanah ( potential beneficiaries ), dan berapa yang diperkirakan
akan menjadi penerima riil ( real benficiaries )? Tanah-tanah apa saja yang
akan menjadi obyek reform? PP. 224/1961 yang diterbitkan sebagai pedoman
pelaksanaan UUPA dianggap tidak konsisten dengan gagasan ideal UUPA.
Periode 1960—1965/Demokrasi Terpimpin
Pendapat Ahli yang Lain Pendapat
Ahli yang Lain: Mc Auslan
Sisi positif UUPA adalah: (1)
UUPA 1960 merupakan produk hukum terbaik selama sejarah RI; (2) kerangka,
format dan rumusannya “modern”; (3) jauh-jauh hari para perumusnya sudah
memiliki kepekaan “gender”; dan (4) mempunyai idealisme menghapuskan
l’exploitation de l’homme par l’homme. Sisi negatifnya adalah: (1) dalam hal
hukum adat, kaitan dan penempatannya dalam UUPA 1960 belum terlalu jelas; (2)
program landreform-nya juga dianggap belum terlalu jelas (mirip kritik
Ladejinsky); dan (3) belum diantisipasi kemungkinan akan terjadinya berbagai
hambatan.
Di samping adanya berbagai
hambatan lainnya, menurutnya, ada dua hambatan pokok dalam masalah agraria di
Indonesia, yaitu:
Hambatan hukum. Baik di pusat
maupun di daerah, aparat hukum belum menguasai benar persoalan agraria. Hal ini
berkaitan erat dengan hambatan pokok yang kedua.
Keterbatasan ketersediaan tenaga
ahli / Hambatan ilmiah (istilah Mc Auslan). Berbeda dari negara berkembang
lainnya, di Indonesia yang justru merupakan negara besar yang pada dasarnya
agraris, jumlah ilmuwan agrarianya sangat terbatas. Menurut Mac Auslan, ini
suatu ironi. Akibatnya, setiap kali membahas agraria, yang dibahas selalu
“hukum agraria”. Padahal, agraria itu mencakup hampir semua aspek kehidupan
(sosial, ekonomi, budaya, lingkungan, dan politik, bahkan juga hankam).
Periode 1965—1998 (Orde Baru)
Slogan lama: “Berdaulat dalam
politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan”,
dilindas oleh slogan baru : “Politik no, ekonomi yes!” Masyarakat terhanyut,
dan tidak sadar bahwa slogan itu sendiri adalah politik!
Kebijakan umum Orde Baru ditandai
oleh sejumlah ciri, yaitu: (a) stabilitas merupakan prioritas utama; (b) di
bidang sosial ekonomi, pembangunan menggantungkan diri pada hutang luar negeri,
modal asing, dan betting on the strong ; dan (c) di bidang agraria mengambil
kebijakan jalan pintas, yaitu Revolusi Hijau tanpa Reforma Agraria. Dengan
kebijakan demikian, maka UUA 1960 ibarat masuk “peti-es”. Artinya, sekalipun
tidak dicabut, keberadaannya tidak dihiraukan.
Periode 1965—1998 (Orde Baru)
Tahun 1967 tiga undang-undang
yang mengabaikan ketentuan-ketentuan yang ada dalam UUPA 1960 (UU PMA; UU Pokok
Kehutanan; UU Pokok Pertambangan).
Untuk sekitar 11 tahun lamanya
UUPA 1960 dipersepsikan secara keliru, sebagai produk PKI. Stigma ini bahkan
masih melekat di benak sebagian masyarakat kita sampai sekarang.
Baru pada tahun 1978 keberadaan
UUPA 1960 dikukuhkan kembali sebagai “produk nasional” (bukan produk PKI),
setelah adanya laporan hasil penelitian dari Panitia Soemitro Djojohadikoesoemo
(almarhum) yang pada saat itu adalah Menristek. Kembalinya perhatian atas
keberadaan UUPA 1960 ini —barangkali— juga karena adanya undangan dari FAO
untuk menghadiri Konferensi Sedunia tentang Reforma Agraria dan Pembangunan
Pedesaan di Roma tahun 1979.
Periode 1965—1998 (Orde Baru)
Dalam Konferensi Roma tahun 1979,
Indonesia mengirim delegasi besar. Hasil konferensi ini adalah sebuah dokumen
yang di tahun 1981 diterbitkan oleh FAO dengan judul Peasant’s Charter (Piagam
Petani). Disepakati bahwa setiap dua tahun sekali tiap negara akan melaporkan
pelaksanaan Reforma Agraria dan Pembangunan Pedesaan. Tidak ada berita, apakah
Indonesia memenuhi kesepakatan tersebut.
Di tahun 1981 di Selabintana
Sukabumi (Jawa Barat) berlangsung lokakarya internasional dengan tema yang
sama, sebagai tindak lanjut Konferensi Roma, yang hasilnya disertai sebuah
rekomendasi kepada pemerintah Indonesia.
Keberadaan Piagam Petani hasil
pertemuan Roma, dan rekomendasi Selabintana ternyata tidak mampu mendorong
pemerintah Orde Baru melakukan “re-orientasi kebijakan”. Bahkan, kebanggaan
yang berlebihan dari berhasilnya swasembada pangan di tahun 1984 telah membuat
Orde Baru terlalu percaya diri bahwa tanpa Reforma Agraria (melalui “jalan
pintas”) kita akan mampu memakmurkan rakyat.
Periode 1965—1998 (Orde Baru)
Terbukti kemudian bahwa
swasembada pangan tidak berumur lama. Namun hal ini tetap tidak membuat Orde
Baru menyadari apa yang sesungguhnya terjadi. Bahkan semakin terdapat
kecenderungan untuk jauh menyimpang dari semangat UUD 1945 dan UUPA 1960.
Penyimpangan ini dimulai dengan adanya berbagai paket deregulasi di akhir
dekade 1980-an untuk memuluskan praktek kebijakan liberal.
Meskipun di pertengah dekade
1980-an Indonesia mencapai swasembada pangan, berbagai konflik sosial yang
hakikatnya berlatar belakang masalah agraria telah merebak di mana-mana dan
tidak ada yang dapat diselesaikan sampai saat ini. Data KPA 2001 menunjukkan
angka jumlah kasus mencapai angka 2834 kasus yang pernah dilaporkan kepada
berbagai LSM oleh masyarakat sejak jaman Orde Baru dalam upaya mencari dukungan
untuk mempertahankan hak mereka. Inventarisasi BPN yang dilaporkan ke Komisi II
(18 September 2007) menyebut angka 7468 kasus. Sayangnya rincian lokasi dan
pihak yang berkonflik belum pernah disampaikan.
Namun, agaknya kenyataan ini
tidak cukup membuka mata hati para pemimpin bahwa masalah agraria adalah
masalah mendasar. Bahkan cenderung menyimpang dari semangat UUPA 1960 semakin
nyata ketika di pertenghan dekade 1990-an terlontar pernyataan dari seorang
pejabat yang berwenang bahwa “tanah sebagai komoditi strategis” (bertentangan
dengan fatwa Bung Hatta sebagaimana sudah disebutkan di atas)
Periode 1965—1998 (Orde Baru)
Berbagai krisis agraria yang
terjadi itu tak lepas dari kecarut-marutan dalam sistem perundang-undangan di
bidang agraria (secara luas).
Meskipun UUPA dikukuhkan kembali,
hal itu tidak membantu mengatasi, sebab beberapa UU sektoral –yang berbeda
semangatnya dengan UUPA 1960 sudah terlanjur berlaku demikian lama, maka ketika
UUPA 1960 dikukuhkan kembali, yang terjadi bukannya penjernihan, melainkan
ketumpang-tindihan. Terdapat kesan kuat bahwa di sana-sini terjadi rekayasa
hukum dan manipulasi agar seolah-oleh suatu kebijakan itu merujuk kepada UUPA
1960, sedangkan pada hakikatnya adalah demi memfasilitasi investasi asing,
berlawanan total dengan cita-cita dasar UUPA 1960.
Pasca Orde Baru
Masa kepresidenan B.J. Habibie
sebenarnya ada niat meninjau kembali kebijakan landreform. Pernah dibentuk
Panitia di bawah pimpinan Prof. Dr. Muladi, S.H. Tapi belum sempat panitia ini
bekerja, sudah terjadi pergantian presiden. Panitia ini kemudian tidak jelas
kabarnya.
Pasca Orde Baru
Di jaman Presiden Abdurahman
Wahid (Gus Dur), terlontar pernyataannya yang menggemparkan, yaitu bahwa 40%
dari tanah-tanah perkebunan itu seharusnya didistribusikan kepada rakyat.
Euphoria kebebasan sebagai akibat lengsernya Orde Baru telah melahirkan berbagai
organisasi rakyat (serikat tani dan nelayan, serikat buruh, ormas perempuan dan
lain-lain, termasuk munculnya puluhan partai politik), selain juga
berbondong-bondongnya rakyat menduduki tanah-tanah yang dibiarkan terbengkalai
oleh pemilik/yang menguasainya. Isu agraria pun terangkat kembali ke permukaan
oleh desakan berbagai organisasi tani/nelayan serta berbagai LSM.
Pasca Orde Baru
Masa kepresidenan Megawati:
Di awal kekuasaannya Pemerintah
Megawati belum menunjukkan kepastian sikap mengenai masalah agraria.
Sementara itu di kalangan
masyarakat sipil berlangsung Konferensi Nasional Petani (April 2001) yang
dihadiri oleh berbagai organisasi tani, berbagai LSM, dan juga Komnas HAM,
sebagai salah satu pemrakarsanya. Konferensi ini melahirkan ”Deklarasi tentang
Hak-Hak Asasi Petani”.
Menyadari kerasnya desakan rakyat
saat itu, maka sebagian anggota MPR hasil pemilu 1999 cukup tanggap. Maka BP
MPR bidang agraria kemudian melakukan berbagai dialog dengan berbagai
organisasi tani dan LSM, yang dilanjutkan dengan penyelenggaraan dua kali
lokakarya besar di Bandung pada bulan September/Oktober 2001. Hasilnya adalah
lahirnya TAP MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan
Sumberdaya Alam.
Pasca Orde Baru
Dilihat dari semangat UUPA 1960,
isi TAP ini memang ambigu. Namun, bagaimanapun juga, harus diterima kenyataan
bahwa itulah hasil maksimal yang bisa dicapai sebagai hasil kompromi dari
pertarungan berbagai kepentingan. Bahkan TAP seperti yang ada sekarang itupun
mungkin tidak akan lahir seandainya saja tidak ada dukungan pressure group
berupa demo sekitar 12.000 orang anggota berbagai Serikat Petani. Isi TAP MPR
No. IX/2001 itu pada dasarnya semacam ”perintah”, baik kepada Presiden maupun
kepada DPR, agar mengambil langkah tindak lanjut. Ketika sampai dengan tahun
2003 ternyata tidak ada tanda-tanda tanggapan baik dari DPR maupun dari
presiden, maka Komnas HAM bersama sejumlah LSM dan organisasi tani mengambil
prakarsa lain, yaitu menyusun usulan kepada Presiden Megawati agar membentuk
KNUPKA (Komite Nasional untuk Penanggulangan Konflik Agraria). Tanggapan
presiden positif, tetapi, sekali lagi, belum sempat konsep ini direalisasikan
keburu terjadi pergantian presiden.
Sementara itu, pada masa akhir
jabatannya Presiden Megawati mengeluarkan Keppres No. 34/2003 yang isinya
memberi mandat kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk melakukan
penyusunan RUU mengenai ”penyempurnaan” UUPA 1960. Dengan adanya pergantian
presiden, masalah inipun mengalami perkembangan yang tidak mulus.
Pasca Orde Baru
Masa kepresidenan SBY:
Mandat kepada BPN untuk melakukan
”penyempurnaan” UUPA 1960 masih tetap berlaku, dan proses penyempurnaan itu
masih tetap berlangsung. Namun hasilnya bukan penyempurnaan, melainkan
perubahan total terhadap UUPA.
Perpres No. 36/2005 (tentang
infrastruktur) yang mengundang berbagai reaksi masyarakat. Perpres ini, telah
menimbulkan kegelisahan luas di masyarakat.
Pasca Orde Baru
Perpres No. 10/2006 mengenai
penataan ulang secara internal kelembagaan BPN. Salah satu yang positif,
mungkin adalah dibentuknya Deputi Bidang Pengkajian Dan Penanganan Sengketa Dan
Konflik Agraria. Namun bagaimana hasil kerjanya kita belum mendengar lebih
jauh. Yang mengejutkan adalah, dalam rangka mendukung penyelesaian konflik
agraria telah ditanda-tangani sebuah keputusan bersama antara Ketua BPN dan
KAPOLRI tentang Penanganan Konflik Agraria yang pendekatannya dikhawatirkan
akan menjadikan semakin meluasnya kekerasan oleh aparat negara kepada
pihak-pihak yang terlibat konflik, dalam hal ini khususnya massa petani atau
rakyat yang lain yang menduduki tanah-tanah sengketa yang berhadapan dengan
kaum bermodal, terutama karena sampai saat ini kita belum sepenuhnya berhasil
memisahkan POLRI dari karakter militernya dan kita belum melihat perubahan
sikap birokrat kita secara mendasar yang selama sekian tahun terbiasa dengan
cara kerja berkarakter betting on the strong .
Pasca Orde Baru
Keempat , di samping ketiga hal
tersebut, perlu dicatat juga bahwa pada bulan Maret 2006 yang baru lalu,
Indonesia telah mengirim delegasi untuk menghadiri ICARRD (International
Conference on Agrarian Reform and Rural Development) di Porto Alegre, Brazil,
tanggal 7—10 Maret 2006. Namun ternyata tidak ada arahan yang jelas dari
pimpinan nasional, misi apa yang harus diemban oleh delegasi ini sehingga ini
sekedar menjadi kesempatan jalan-jalan anggota delegasi pemerintah RI. Tidak
ada hasil yang dapat dilihat masyarakat dari kunjungan ini.
Pasca Orde Baru
Redistribusi lahan untuk petani
yang dikampanyekan oleh SBY. Tanah mana yang akan diredistribusi. Mari kita
lihat data!!!
Data Struktur Agraria 14,00*
Perumahan, Pertokoan, Perkantoran, Industri dll 13 13,07 11,80 Lahan Pertanian
11 24,87 1,08 Perkebunan Swasta 9 25,95 3,30 Perkebunan Negara 8 29,25 3,40 HTI
7 32.65 27,72 HPH 6 60,37 5,2 KKB/PKP2PB 5 65,57 24,77 Kontrak Karya Batu Bara
4 90,34 6,47 Kontrak Karya Mineral 3 96, 81 95,45 Kontrak Kerja Migas 2 192,26
Luas Total Daratan Indonesia 1 Luas Lahan (juta Ha) Penggunaan Lahan No. 31.
Kesimpulan:
Kira-kira, jika program
distribusi lahan itu dilaksanakan, yang akan didistribusi adalah tanah-tanah
bekas perkebunan yang sdh tandus itu!! Jadi. Para petani hendaknya tidak
terhanyut mimpi indah yang berlebihan dengan kampanye ini.
Namun demikian program ini tetap
harus didesak untuk segera dilaksanakan, dengan mengutamakan petani di wilayah
konflik terdekat dengan lokasi distribusi.
Perdebatan Seputar Revisi UUPA
Noer Fauzi (1999), terdapat 4
(empat) golongan alasan dalam merevisi UUPA:
Golongan Pertama , adalah mereka
yang beranggapan bahwa UUPA dan semua perundang-undangan lainnya pasti dibuat
dengan niat baik untuk menjamin hak dan kewajiban masyarakat, sehingga tentunya
UUPA dan peraturan-peraturan pelaksananya sangat dapat diandalkan sebagai
sarana perlindungan hak-hak masyarakat yang dirugikan. Soal perampasan tanah
dinilai terjadi karena penyimpangan dari pejabat berperilaku menyimpang dalam
mempergunakan kewenangannya. Versi ini menganggap tidak perlu ada revisi UUPA,
yang diperlukan adalah pembaruan pelaksanaannya saja.
Perdebatan Seputar Revisi UUPA
Golongan kedua , adalah mereka
yang percaya bahwa UUPA adalah produk hukum yang memuat jaminan-jaminan hak-hak
masyarakat, namun ia dilingkupi oleh berbagai UU dan peraturan pelaksananya
yang menyimpangkan mandat UUPA tersebut. UUPA adalah hukum yang berkarakter
responsif yang diproduksi di masa Orde Lama, namun ia dilingkupi oleh berbagai
UU dan peraturan pelaksanaan yang diproduksi Orde Baru yang pada umumnya
berkarakter represif. Dalam rumusan lain, dinyatakan bahwa UUPA bersifat
populis namun dikelilingi oleh peraturan yang kapitalistik. Golongan ini
mempersepsi perampasan tanah disebabkan oleh orientasi pembangunan rejim Orde
Baru yang mendahulukan pertumbuhan modal industri dan proyek-proyek pemerintah
dari pada kepentingan penguasaan agraria rakyat banyak. Hukum agraria yang
diproduksi adalah sub-sistem dari pertumbuhan ekonomi, sehingga orientasinya
adalah memberi dukungan legalitas pada pemodal besar maupun proyek pemerintah.
Perdebatan Seputar Revisi UUPA
Golongan ketiga , adalah mereka
yang menganut ideologi pasar bebas dan melihat bahwa birokrasi yang rente dan
kolutif membuat ‘pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan’ merupakan satu
bagian dari pencipta biaya ekonomi tinggi (high cost economic), dan karenanya
peran birokrasi harus dikurangi seminimal mungkin. Hukum agraria harus
direformasi agar tercipta ‘kenyamanan’ berusaha bagi para pelaku bisnis. UUPA
merupakan rintangan besar, karena dengan UUPA intervensi negara terhadap
pengadaan tanah terlampau besar. Soal-soal perlawanan rakyat terhadap
perampasan tanah, tumpang tindih alokasi tanah dan kegagalan penyelesaian
sengketa merupakan hambatan bagi investasi dalam negeri maupun investasi asing.
Perdebatan Seputar Revisi UUPA
High cost economic ini harus
dipangkas melalui pelucutan kekuasaan intervensi negara dalam perekonomian,
khususnya di pasar. Golongan ini mempromosikan, apa yang mereka sebut efficient
land market , dimana pasar tanah merupakan jalan utama bagi bisnis memperoleh
tanah-tanah sebagai alas dari usaha mereka. Jawaban utama bagi sengketa tanah
adalah pemantapan status hukum dari semua persil tanah melalui program
pendaftaran tanah. Tapi, sekaligus dengan hal ini, sektor bisnis bisa
memperoleh tanah tanpa perlu menimbunkan kesulitan yang berarti.
Golongan keempat , adalah yang
mendudukkan UUPA sebagai produk hukum yang perlu dipandang secara kritis.
Diargumentasikan bahwa tidak dipungkiri adanya gejala penyimpangan penggunaan
wewenang dari pejabat sehubungan dengan maraknya sengketa agraria --
sebagaimana disinyalir oleh golongan pertama. Juga tidak dipungkiri pula adanya
sejumlah peraturan pemerintah yang melingkupi UUPA berorientasi kapitalistik,
dan ada pula sejumlah peraturan yang menyimpang dari UUPA. Namun, kegagalan
UUPA dipersepsi pula sebagai pemberi andil bagi terciptanya sengketa agraria
yang marak lebih dalam lima belas tahun belakangan.
Perdebatan Seputar Revisi UUPA
DPR telah menetapkan agenda
perubahan UUPA sebagai salah satu prioritas kerja legislasi pada tahun 2005.
DPR telah menerbitkan dokumen Program Legislasi Nasional Tahun 2005-2009 yang
didalamnya ditetapkan 229 (dua ratus dua puluh sembilan) RUU yang akan dibuat
–disusun Badan Legislasi Nasional (BALEG) DPR. Di dalam dokumen ini, salah satu
agenda adalah penyusunan ”RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang No.5 Tahun
1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria“. Selain itu, Baleg juga telah
menerima usulan RUU Lahan Abadi Pertanian dan berbagai RUU yang bersifat
sektoral yang terus didesakkan untuk diselesaikan, salah satunya yang tak dapat
dibendung adalah RUU Penanaman Modal yang mencantumkan pemberian ijin kepada
pemilik modal untuk menguasai tanah di Indonesia hingga 95 tahun.
Terkait dengan gagasan mengenai revisi UUPA 1960 ini, saya pribadi
berpendapat sebagai berikut:
Pertama, penyempurnaan UUPA harus
memberi makna penguatan bagi semangat kerakyatan yang terkandung di dalamnya.
Penyempurnaan mestilah menambah baik isi UUPA, bukannya menghapus atau
menggantikannya dengan undang-undang yang semangat dan isinya sama sekali baru.
Perdebatan Seputar Revisi UUPA
Kedua, menyempurnakan UUPA 1960
mestilah dilakukan secara hati-hati agar tidak terseret kepentingan globalisasi
kapitalisme yang hendak mengukuhkan kepentingan ekonomi-politiknya di lapangan
agraria.
Ketiga, penyempurnaan UUPA
hendaknya meneguhkan posisinya sebagai payung bagi peraturan perundang-undangan
agraria. Pengaturan atas sektor kehutanan, perkebunan, pertambangan, perairan,
pertanian, pesisir dan laut, dan sebagainya mestilah mengacu pada UUPA.
Keempat, proses penyempurnaan
UUPA hendaknya dilakukan secara demokratis dan partisipatif. Selain melibatkan
departemen dan lembaga negara, juga pakar dan organisasi non-pemerintah (LSM)
yang integritasnya teruji. Dan yang terpenting diajak bicara adalah rakyat yang
paling berkepentingan atas agraria, yakni serikat petani, nelaan, masyarakat
adat dan rakyat kecil pada umumnya, dengan memperhatikan perimbangan
partisipasi laki-laki dan perempuan.
Penutup
Kesalahan pengembangan kebijakan
agraria di jaman kolonial dan ketidak konsistenan melaksanakan UUPA No.5/1960
selama ini telah berakibat terus berlanjutnya dan semakin parah serta meluasnya
kemiskinan, pada akhirnya mendorong terjadinya migrasi dan menempatkan masyarakat
desa dalam kondisi rentan menjadi korban perdagangan orang. Diatas telah
disinggung tentang migrasi yang 70% diantaranya perempuan. Para laki-laki dalam
perempuan yang terusir dari desa-desa itu (karena juga tidak adanya niat baik
negara membangun pendidikan bagi rakyat) mereka kemudian terjerembab dalam
kerja-kerja kasar dan tidak memiliki perlindungan hukum, seperti kuli bangunan,
pekerja rumah tangga bahkan dalam pekerjaan yang dianggap tidak memiliki harkat
kemanusiaan/dilacurkan dan menjadi komoditi dagangan.
Penutup
Ketidakjelasan kebijakan agraria
tidak bisa lagi bisa dibiarkan, langkah yang paling urgent dalam hal ini adalah
penataan kebijakan agar semua kebijakan terkait agraria agar semuanya memiliki
semangat yang sama, yaitu menghormati kedaulatan rakyat atas bumi Indonesia
dengan tidak menjadikan tanah sebagai komoditas atau insentif masuknya modal.
Untuk tujuan ini, legislatif dan eksekutif harus duduk bersama dan secara
serius membuat prioritas yang jelas dengan memperhatikan kepentingan para
petani kecil, para nelayan kecil, rakyat miskin perkotaan. Merekalah elemen
bangsa yang paling terikat dengan tanah untuk penghidupannya.
Penutup
Di sisi lain, elemen masyarakat
sipil juga harus meningkatkan kapasitas dalam melakukan lobby kebijakan.
Organisasi-organisasi petani, nelayan dan lain-lainnya tidak bisa hanya
menggunakan metode unjuk rasa untuk melakukan perubahan. Dukungan informasi dan
pengalaman mereka menghadapi konflik dan persoalan-persoalan kehidupan terkait
dengan tanah sangat diperlukan dalam menyusun kebijakan yang benar-benar dapat
memberi kesejahteraan bagi rakyat banyak. Kemampuan memformulasikan pengalaman
itu menjadi paparan yang runut dan usulan kebijakan yang logis sangat penting
untuk mulai dikembangkan. Demikian juga berbagai cara membangun dukungan atas
usulan-usulan itu dari berbagai pihak penentu kebijakan.
REFFERENSI
Gouwgioksiong, 1959, Hukum Agraria Antar
Golongan, Penerbit Universitas, Jakarta, Halaman 7.
J.B. Daliyo dkk., 2001, Hukum
Agraria, PT Prehallindo, APTIK, Jakarta, Hal. 7.
Fokkema Andreae. S.J., 1951,
Rechtsgeleerd Handwoordenboek, J.B. Wolters, Groningen, Jakarta dalam Bukunya
Boedi Harsono, 1997,
Hukum Agraria Indonesia (Sejarah
Pembentukan UUPA, Isi dan Pelaksanannya), Jakarta, Djambatan, Hal. 15.
Comments