Makalah, Hukum, Law, Welfarestate
Pada rana kenegaraan yang perlu kita ketahui adalah bagaimana menjadikan masyarakat sejahtera dan makmur, tanpa melepaskan sendi-sendi keutamaan sebuah negara itu berdiri. Negara hukum dan pemerintahan yang demokrasi semua itu adalah persyaratan yang urgen dalam sebuah pembangunan negara dan menjadikan negara itu jelas dari tipe sejarah maupun dari kacamata hukum.
B. Rumusan Masalah
PEMBAHASAN
Dalam pandangan teori klasik tentang negara, peran negara dalam pembangunan, termasuk peran kesejahteraan, mencakup lima hal . Pertama, peran ekstraksi, yakni mengumpulkan sumberdaya, misalnya memperoleh devisa dari ekspor, eksploitasi sumberdaya alam, menarik pajak warga, atau menggali pendapatan asli daerah. Kedua, peran regulasi, yakni melancarkan kebijakan dan peraturan yang digunakan untuk mengatur dan mengurus barang-barang publik dan warga. Ketiga, peran konsumsi, yakni menggunakan (alokasi) anggaran negara untuk membiayai birokrasi agar fungsi pelayanan publik berjalan secara efektif dan profesional. Keempat, peran investasi ekonomi, yakni mengeluarkan biaya untuk untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomidan membuka lapangan kerja bagi warga. Kelima, peran distribusi sosial, yakni negara mengeluarkan belanja untuk membiayai pembangunan sosial atau kebijakan sosial. Wujud konkretnya adalah pelayanan publik untuk memenuhi hak-hak dasar warga.
PENUTUP
Konsep kesejahteraan negara tidak hanya mencakup deskripsi mengenai sebuah cara pengorganisasian kesejahteraan (welfare) atau pelayanan sosial (social services). Melainkan juga sebuah konsep normatif atau sistem pendekatan ideal yang menekankan bahwa setiap orang harus memperoleh pelayanan sosial sebagai haknya.
Anwar, R., Mengenang Sjahrir: Seorang Tokoh Pejuang Kemerdekaan yang Tersisihkan dan Terlupakan, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2010.
TIPE NEGARA WELFARE STATE
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Pada rana kenegaraan yang perlu kita ketahui adalah bagaimana menjadikan masyarakat sejahtera dan makmur, tanpa melepaskan sendi-sendi keutamaan sebuah negara itu berdiri. Negara hukum dan pemerintahan yang demokrasi semua itu adalah persyaratan yang urgen dalam sebuah pembangunan negara dan menjadikan negara itu jelas dari tipe sejarah maupun dari kacamata hukum.
Seperti yang
diteorikan oleh George Jellinek dan Jean Bodin bahwa negara itu berdaulat yang
dimana hukum ada karena adanya negara dan tiada satupun hukum yang berlaku jika
tidak dikehendaki oleh negara. Dari teori tersebut kita bisa mengulas sebuah
konsep bahwa negara itu adalah sistem yang betul-betul berkuasa terhadap
kehidupan seluruh yang ada didalamnya demi mensejahterahkan rakyatnya .
Tema
kesejahteraan rakyat yang selalu mengemuka dalam perdebatan publik lebih banyak
retorika politik yang berangkat dari interpretasi sepihak, baik di kalangan
pejabat pemerintah maupun politisi di parlemen. Dalam konteks ini perlu
menyimak ulang ide negara kesejahteraan dengan merujuk pemikir-pemikir klasik
antara lain Asa Griggs, The Welfare state in Historical Perspective (1961);
Friedrich Hayek, The Meaning of the Welfare state (1959); dan Richard Titmuss,
Essays on the Welfare state (1958).
Negara
kesejahteraan adalah suatu bentuk pemerintahan demokratis yang menegaskan bahwa
negara bertanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyat yang minimal, bahwa
pemerintah harus mengatur pembagian kekayaan negara agar tidak ada rakyat yang
kelaparan, tidak ada rakyat yang menemui ajalnya karena tidak dapat membayar
biaya rumah sakit. Dapat dikatakan bahwa negara kesejahteraan mengandung unsur
sosialisme, mementingkan kesejahteraan di bidang politik maupun di bidang
ekonomi. Dapat juga dikatakan bahwa negara kesejahteraan mengandung asas
kebebasan (liberty), asas kesetaraan hak (equality) maupun asas persahabatan
(fraternity) atau kebersamaan (mutuality). Asas persahabatan atau kebersarnaan dapat
disamakan dengan asas kekeluargaan atau gotong royong .
Dari uraian
tersebut maka penulis terdorong untuk mengungkapkan pemahaman konsep negara
welfare state
B. Rumusan Masalah
1.
Pemahaman
konsep negara welfare state
BAB II
PEMBAHASAN
Dalam pandangan teori klasik tentang negara, peran negara dalam pembangunan, termasuk peran kesejahteraan, mencakup lima hal . Pertama, peran ekstraksi, yakni mengumpulkan sumberdaya, misalnya memperoleh devisa dari ekspor, eksploitasi sumberdaya alam, menarik pajak warga, atau menggali pendapatan asli daerah. Kedua, peran regulasi, yakni melancarkan kebijakan dan peraturan yang digunakan untuk mengatur dan mengurus barang-barang publik dan warga. Ketiga, peran konsumsi, yakni menggunakan (alokasi) anggaran negara untuk membiayai birokrasi agar fungsi pelayanan publik berjalan secara efektif dan profesional. Keempat, peran investasi ekonomi, yakni mengeluarkan biaya untuk untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomidan membuka lapangan kerja bagi warga. Kelima, peran distribusi sosial, yakni negara mengeluarkan belanja untuk membiayai pembangunan sosial atau kebijakan sosial. Wujud konkretnya adalah pelayanan publik untuk memenuhi hak-hak dasar warga.
Kelima peran
klasik negara itu dapat terlaksana dalam situasi “normal” dimana negara
mempunyai kekuasaan politik yang besar dan mempunyai basis materi (ekonomi)
yang memadai. Negara menjadi pelaku tunggal yang menjalankan peran mengumpulkan
basis material sampai dengan membagi material itu kepada rakyat. Dalam mencapai
kesejahteraan, dibutuhkan peran “normal” negara untuk menciptakan pembangunan
yang seimbang (balanced development), yaitu keseimbangan antara pembangunan
ekonomi dan pembangunan sosial.
Melihat konsep negara sebagai penyelenggara kesejahteraan rakyat, maka muncullah konsep welfare state (negara kesejahteraan) yang dalam sejarahnya pertama kali muncul di Inggris dengan ditandatanganinya Undang-Undang Kemiskinan (the poor relief act) pada tahun 1598 (diamandemen beberapa kali) dilanjutkan pada saat dimulainya upaya rekonstruksi sosial dan ekonomi pasca Perang Dunia I dan II (1940an).
Melihat konsep negara sebagai penyelenggara kesejahteraan rakyat, maka muncullah konsep welfare state (negara kesejahteraan) yang dalam sejarahnya pertama kali muncul di Inggris dengan ditandatanganinya Undang-Undang Kemiskinan (the poor relief act) pada tahun 1598 (diamandemen beberapa kali) dilanjutkan pada saat dimulainya upaya rekonstruksi sosial dan ekonomi pasca Perang Dunia I dan II (1940an).
Perkembangan
welfare state (negara kesejahteraan) sebetulnya dimulai sejak Bapak Sosialisme
Demokrat Jean Jacques Rousseau, menerbitkan Discours sur l’original et Fondament
de l’Inegality parmi les Hommes pada tahun 1775, yang mendahului terbitnya
karya Adam Smith The Wealth Nation 1776 yang mendasari pengembangan model
kapitalisme dan karya Karl Marx Das Capital 1848 yang mendasari Komunisme. Jean
Jacques Rousseau melontarkan diskursus tentang penyebab ketimpangan sosial yang
dialami manusia
Konsep kesejahteraan negara tidak hanya mencakup deskripsi mengenai sebuah cara pengorganisasian kesejahteraan (welfare) atau pelayanan sosial (social services). Melainkan juga sebuah konsep normatif atau sistem pendekatan ideal yang menekankan bahwa setiap orang harus memperoleh pelayanan sosial sebagai haknya. Kesejahteraan negara juga merupakan anak kandung pergumulan ideologi dan teori, khususnya yang bermatra sayap kiri (left wing view), seperti Marxisme, Sosialisme, dan Sosial Demokratik (Spicker, 1995). Namun demikian, dan ini yang menarik, konsep kesejahteraan negara justru tumbuh subur di negara-negara demokratis dan kapitalis, bukan di negara-negara sosialis .
Konsep kesejahteraan negara tidak hanya mencakup deskripsi mengenai sebuah cara pengorganisasian kesejahteraan (welfare) atau pelayanan sosial (social services). Melainkan juga sebuah konsep normatif atau sistem pendekatan ideal yang menekankan bahwa setiap orang harus memperoleh pelayanan sosial sebagai haknya. Kesejahteraan negara juga merupakan anak kandung pergumulan ideologi dan teori, khususnya yang bermatra sayap kiri (left wing view), seperti Marxisme, Sosialisme, dan Sosial Demokratik (Spicker, 1995). Namun demikian, dan ini yang menarik, konsep kesejahteraan negara justru tumbuh subur di negara-negara demokratis dan kapitalis, bukan di negara-negara sosialis .
Dalam paham
demokrasi sosial (social democracy), negara berfungsi sebagai alat
kesejahteraan (welfare state). Meskipun gelombang liberalisme dam kapitalisme
terus berkembang dan mempengaruhi hampir seluruh kehidupan umat manusia melalui
arus globalisasi yang terus meningkat, tetapi aspirasi ke arah sosialisme baru
di seluruh dunia juga berkembang sebagai penyeimbang. Oleh karena itu, konsep
welfare state merupakan keniscayaan dinamis yang terus mengikuti situasi dan
perkembangan masyarakat. Demikian pula pengaruh globalisasi yang menciptakan
adanya modifikasi terhadap konsep negara kesejahteraan (Jimly Asshiddiqe,
2006).
Negara
Kesejahteraan sebenarnya merupakan kelanjutan dan perluasan dari hak-hak warga
negara. Hak-hak warga negara tersebut, antara lain hak sipil, hak politik dan
hak sosial, selama 300 tahun secara perlahan berhasil diakui dan terpenuhi. Hal
sipil (kebebasan berbicara) warga diakui dan dupenuhi pada abad ke-18, hak
politik (hak memilih dalam pemilu) diakui dan dipenuhi pada abad ke-19, dan hak
sosial (kesejahteraan dan jaminan sosial) diakui dan dipenuhi pada abad ke-20.
Negara Kesejahteraan berusaha membebaskan warganya dari ketergantungan pada
mekanisme pasar untuk mendapatkan kesejahteraan (dekomodifikasi) dengan
menjadikan hak setiap warga sebagai ”alasan utama” kebijakan sebuah negara.
Negara dengan demikian, memberlakukan penerapan kebijakan sosial sebagai
’penganugerahan hak-hak sosial’ kepada warganya. Hak-hak sosial tersebut
mendapat jaminan dan tidak dapat dilanggar (inviolable) serta diberikan berdasar
atas dasar kewargaan (citizenship) dan bukan atas dasar kinerja atau kelas .
Negara
berperan lebih besar dalam menjamin kesejahteraan sosial secara terencana,
melembaga, dan berkesinambungan. Konsep ini mencapai puncaknya di era “golden
age” pasca Perang Dunia II. Faktor utama pendorong berkembangnya negara
kesejahteraan menurut Pierson adalah industrialisasi yang membawa perubahan
dramatis dalam tatanan tradisional penyediaan kesejahteraan dan ikatan
keluarga, seperti akselerasi pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan populasi
penduduk, munculnya pembagian kerja (divison of labour), perubahan pola
kehidupan keluarga dan komunitas, maraknya pengangguran siklikal, terciptanya
kelas pekerja nirlahan (landless working class) beserta potensi mobilisasi
politis mereka. Perkembangan negara kesejahteraan ini mengalami penyesuaian
dengan kondisi di masing-masing negara. Kini, negara kesejahteraan masih dianut
oleh negara maju dan berkembang. Dilihat dari besarnya anggaran negara untuk
jaminan sosial, sistem ini dapat diurutkan ke dalam empat model, yaitu :
1.
Model universal yang dianut oleh negara-negara Skandinavia, seperti Swedia,
Norwegia, Denmark dan Finlandia. Dalam model ini, pemerintah menyediakan
jaminan sosial kepada semua warga negara secara melembaga dan merata. Anggaran
negara untuk program sosial mencapai lebih dari 60% dari total belanja negara.
2.
Model institusional yang dianut oleh Jerman dan Austria. Seperti model pertama,
jaminan sosial dilaksanakan secara melembaga dan luas. Akan tetapi kontribusi
terhadap berbagai skim jaminan sosial berasal dari tiga pihak (payroll
contributions), yakni pemerintah, dunia usaha dan pekerja (buruh).
3.
Model residual yang dianut oleh AS, Inggris, Australia dan Selandia Baru.
Jaminan sosial dari pemerintah lebih diutamakan kepada kelompok lemah, seperti
orang miskin, cacat dan penganggur. Pemerintah menyerahkan sebagian perannya
kepada organisasi sosial dan LSM melalui pemberian subsidi bagi pelayanan
sosial dan rehabilitasi sosial “swasta”.
4.
Model minimal yang dianut oleh gugus negara-negara latin (Prancis, Spanyol,
Yunani, Portugis, Itali, Chile, Brazil) dan Asia (Korea Selatan, Filipina,
Srilanka). Anggaran negara untuk program sosial sangat kecil, di bawah 10
persen dari total pengeluaran negara. Jaminan sosial dari pemerintah diberikan
secara sporadis, temporer dan minimal yang umumnya hanya diberikan kepada
pegawai negeri dan swasta yang mampu menggiur.
Konsep
negara kesejahteraan memang lahir dari rahim liberalisme, terutama liberalisme
modern yang menganggap negara harus turut bertanggung jawab atas rakyatnya,
tidak hanya sebagai penjaga malam seperti yang dipahami aliran liberalisme
klasik. Namun, cita-cita akan adanya negara kesejahteraan nampaknya hadir pula
dalam benak sosialis seperti Sjahrir. Bagi Sjahrir, negara kesejahteraan akan
dapat mengurangi kemiskinan, memajukan kesetaraan sosial, stabilitas
sosial, inklusi sosial dan efisiensi ekonomi. Secara ideologis, cita-cita
Sjahrir merupakan bentuk peralihan antara kapitalisme laissez-faire menuju
sosialisme sehingga konsekuensi yang paling mungkin adalah bentuk negara
kesejahteraan, Universalist Welfare State, yaitu rezim kesejahteraan sosial
demokrat dengan jaminan sosial universal dan kelompok target yang luas, serta
tingkat dekomodifikasi yang ekstensif .
Kesejahteraan
negara atau welfare state, baik sebagai konsep maupun model pembangunan
kesejahteraan, memiliki wajah yang beragam. Ia tidak vakum, melainkan dinamis
mengikuti denyut perubahan dan tuntutan masyarakat di negara yang bersangkutan
. Kesejahteraan negara tidaklah mati sebagaimana dimitoskan banyak orang. Ia
juga tidak hanya milik negara-negara maju secara ekonomi. Dengan political
will, komitmen dan visi yang jelas mengenai investasi sosial dan manusia,
negara-negara berkembang mampu menjalankan pendekatan pembangunan kesejahteraan
ini.
Kata
‘negara’ pada ‘kesejahteraan negara’ tidak berarti bahwa sistem ini hanya
melibatkan negara saja. Sebagaimana dipraktekkan di banyak negara, sistem ini
juga melibatkan civil society, organisasi-organisasi sukarela dan perusahaan
swasta. Dengan konsep welfare pluralism seperti ini, jenis-jenis pelayanan dan
bahkan sistem pengorganisasiannya bisa dilakukan secara terdesentralisasi
sesuai dengan karakteristik dan keperluan masyarakat setempat. Yang terpenting,
framework dan substansi dari pendekatan itu tetap sejalan dengan ruh
kesejahteraan negara yang menekankan pentingnya perlindungan sosial sebagai hak
warga negara.
Salah satu
faktor penting dari meningkatnya kesejahteraan rakyat dalam suasana bangsa yang
sudah merdeka adalah adanya pelayanan yang berkualitas dari pejabat pemerintah
sebagai aparatur negara dalam melayani kepentingan publik. Tidak dapat
dipungkiri bahwa keberadaan negara dalam hal ini pemerintah amat strategis dan
penting dalam melayani dan mendampingi masyarakat dalam mengelola dan
memberdayakan potensi bangsa yang sudah merdeka ini. Kehadiran sebuah
kedaulatan rakyat dalam negara merdeka tidak memiliki makna apa-apa apabila
tidak ada pemerintah dengan pejabat pemerintahan sebagai instrumen dalam
mengelola potensi bangsa untuk menjaga kedaulatan tersebut. Negara yang
berdaulat tidak memiliki kewibawaan di hadapan bangsa lain apabila potensi
negara tidak mampu diurus dan dikelola secara baik dan benar oleh pemerintah.
Sebaliknya, kehadiran dan keberadaan sebuah pemerintah (Government) dalam
sebuah negara yang merdeka tidak memiliki makna apabila pemerintah tersebut
tidak memiliki dukungan dan legitimasi dari rakyat sebagai pemegang kedaulatan.
Pemerintah yang kuat adalah pemerintah yang memiliki dukungan dan relasi yang
baik dari rakyat (society) .
Di setiap
penyelenggara pemerintahan (eksekutif dan legislatif) sepakat membangun negara
kesejahteraan merujuk konsep orisinal, yang semula berkembang di Eropa Barat
(Inggris dan Jerman) dan negara-negara Skandinavia (Finlandia, Swedia,
Norwegia). Jika memiliki kesamaan cita-cita membangun negara kesejahteraan,
namun dalam banyak hal yang amat fundamental pihak legislatif sering
berseberangan dengan eksekutif, terutama berkenaan dengan policy prescriptions,
dalam membangun perekonomian negara .
Dalam rangka
menata dan menjaga hubungan baik antara negara dan rakyat maka diperlukan
sebuah norma dan hukum. Hukum atau norma yang mengatur substansi hubungan
publik dan negara lebih dikenal dengan hukum administrasi negara. Hukum
administrasi negara menjadi landasan kerja bagi administrasi negara, yang
mengemban tugas servis publik. Kecenderungan penyimpangan oleh pemerintah dan
mengharapkan ketaatan serta kepatuhan dari rakyat menjadi alasan adanya norma
atau hukum yang mengatur hubungan di antara keduanya. Artinya, sebagai negara
hukum, maka Indonesia harus mampu menghadirkan instrumen hukum yang mengatur
hubungan antara warga dan negara.
Setidaknya
ada 2 (dua) hal yang melatarbelakangi pentingnya hukum yang mengatur hubungan
warga dan negara. Pertama, hukum dan norma amat penting sebagai kontrol yuridis
dari warga kepada pemerintah yang diwakili pejabat pemerintahan yang sedang
melaksanakan kekuasaan. Kedua, dalam konteks demokratisasi dalam sebuah bangsa
yang merdeka, maka pilar hukum menjadi amat penting sebagai check and balances
bagi pemerintah.
Adanya
kebijakan publik dari negara yang diperankan oleh pejabat pemerintah sebagai
konsekuensi dari perwujudan negara kesejahteraan yang menjadi platform negara
Indonesia. Bahkan konsep welfare state tersebut di dalam perundang-undangan
kita untuk pertama kali dikenal dengan istilah ”negara pengurus” . Dalam
pengertian dasarnya, ”negara kesejahteraan” merupakan sebuah konsepsi,
paradigma dan kerangka aksi tentang pemerintahan di mana sektor negara
menjalankan peran kunci di dalam hal memberikan proteksi dan atau melakukan
promosi kesejahteraan bagi setiap warga negara. Konsepsi ini secara jelas
menempatkan negara dalam hal ini pejabat pemerintahan wajib melaksanakan agenda
yang berbasis kepada kesejahteraan bagi publik. Dalam menyusun dan
merealisasikan agenda kesejahteraan tersebut, pejabat pemerintah menerbitkan
berbagai macam regulasi dan kebijakan.
Esensi dari negara kesejahteraan untuk memberikan pelayanan yang mensejahterakan bagi publik tidak serta merta berjalan dalam koridor idealitas yang sesungguhnya. Dalam situasi negara belum maksimal melaksanakan mandat untuk mensejahterakan kondisi rakyat, maka hal itu harus dipahami bahwa salah satu dari wajah buruk dari konsepsi negara kesejahteraan adalah munculnya rezim korup dan otoriter yang tampil dengan wajah seorang budiman. Dalam hal ini, pemerintah menampilkan berbagai macam data dan pertanggung jawaban formil atas upaya peningkatan kesejahteraan. Namun di sisi lain, secara riil tindakan pemerintah sesungguhnya banyak yang menyimpang dan dikelola secara otoriter dan koruptif. Negara kesejahteraan yang mencitakan pelayanan terbaik baik publik tetap menyisakan potensi pemerintahan yang korup dan menyimpang. Potensi penyimpangan yang dilakukan oleh pemerintah amat besar, mengingat semua kendali pembangunan dan hal-hal yang terkait dengan pengelolaan kebijakan dikendalikan oleh pemerintah. Hal yang berbeda ketika sebuah negara memilih haluan atau sistem Kapitalisme atau Liberalisme yang pada dasarnya menihilkan peran negara dalam pengeloaan pembangunan . Pada posisi negara memiliki kendali yang amat besar dan tidak ada kekuatan yang cenderung melakukan kontrol terhadap negara, maka kekuasaan yang dimiliki negara akan menjadi absolut, tirani atau diktator.
Salah satu faktor yang mendorong bergesernya wajah negara kesejahteraan berubah menjadi pemerintahan yang korup adalah lemahnya kontrol dari publik (society) dalam rangka mengkritisi bahkan menolak kebijakan pemerintah yang secara nyata menyimpang dari esensi kesejahteraan masyarakat. Kekuasaan yang dijalankan oleh negara akan cenderung tidak terbatas bahkan akan terjadi penumpukan kekuasaan apabila tidak ada kontrol dari publik. Salah satu penyebab lemahnya kontrol terhadap negara adalah tidak memadainya kesadaran dan pemahaman dari publik bahwa negara dapat dikontrol dan dikendalikan melalui mekanisme kontrol yuridis. Sebagai negara hukum, secara konstitusional telah disepakati bahwa semua tindakan elemen bangsa ini, baik pemerintah maupun publik harus mampu dikontrol melalui mekanisme hukum. Dalam konteks relasi publik dan negara, menarik mengutip pendapat Prof. M. Hadjon tentang Negara Hukum; Philipus M. Hadjon mengemukakan bahwa negara hukum Indonesia mengandung unsur: (a) Keserasian hubungan pemerintah dan rakyat; (b) Hubungan fungsional dan proporsional antara kekuasaan negara; (c) Penyelesaian sengketa melalui musyawarah, dan peradilan sebagai sarana terakhir; (d) Keseimbangan antara hak dan kewajiban.
Esensi dari negara kesejahteraan untuk memberikan pelayanan yang mensejahterakan bagi publik tidak serta merta berjalan dalam koridor idealitas yang sesungguhnya. Dalam situasi negara belum maksimal melaksanakan mandat untuk mensejahterakan kondisi rakyat, maka hal itu harus dipahami bahwa salah satu dari wajah buruk dari konsepsi negara kesejahteraan adalah munculnya rezim korup dan otoriter yang tampil dengan wajah seorang budiman. Dalam hal ini, pemerintah menampilkan berbagai macam data dan pertanggung jawaban formil atas upaya peningkatan kesejahteraan. Namun di sisi lain, secara riil tindakan pemerintah sesungguhnya banyak yang menyimpang dan dikelola secara otoriter dan koruptif. Negara kesejahteraan yang mencitakan pelayanan terbaik baik publik tetap menyisakan potensi pemerintahan yang korup dan menyimpang. Potensi penyimpangan yang dilakukan oleh pemerintah amat besar, mengingat semua kendali pembangunan dan hal-hal yang terkait dengan pengelolaan kebijakan dikendalikan oleh pemerintah. Hal yang berbeda ketika sebuah negara memilih haluan atau sistem Kapitalisme atau Liberalisme yang pada dasarnya menihilkan peran negara dalam pengeloaan pembangunan . Pada posisi negara memiliki kendali yang amat besar dan tidak ada kekuatan yang cenderung melakukan kontrol terhadap negara, maka kekuasaan yang dimiliki negara akan menjadi absolut, tirani atau diktator.
Salah satu faktor yang mendorong bergesernya wajah negara kesejahteraan berubah menjadi pemerintahan yang korup adalah lemahnya kontrol dari publik (society) dalam rangka mengkritisi bahkan menolak kebijakan pemerintah yang secara nyata menyimpang dari esensi kesejahteraan masyarakat. Kekuasaan yang dijalankan oleh negara akan cenderung tidak terbatas bahkan akan terjadi penumpukan kekuasaan apabila tidak ada kontrol dari publik. Salah satu penyebab lemahnya kontrol terhadap negara adalah tidak memadainya kesadaran dan pemahaman dari publik bahwa negara dapat dikontrol dan dikendalikan melalui mekanisme kontrol yuridis. Sebagai negara hukum, secara konstitusional telah disepakati bahwa semua tindakan elemen bangsa ini, baik pemerintah maupun publik harus mampu dikontrol melalui mekanisme hukum. Dalam konteks relasi publik dan negara, menarik mengutip pendapat Prof. M. Hadjon tentang Negara Hukum; Philipus M. Hadjon mengemukakan bahwa negara hukum Indonesia mengandung unsur: (a) Keserasian hubungan pemerintah dan rakyat; (b) Hubungan fungsional dan proporsional antara kekuasaan negara; (c) Penyelesaian sengketa melalui musyawarah, dan peradilan sebagai sarana terakhir; (d) Keseimbangan antara hak dan kewajiban.
BAB III
PENUTUP
Konsep kesejahteraan negara tidak hanya mencakup deskripsi mengenai sebuah cara pengorganisasian kesejahteraan (welfare) atau pelayanan sosial (social services). Melainkan juga sebuah konsep normatif atau sistem pendekatan ideal yang menekankan bahwa setiap orang harus memperoleh pelayanan sosial sebagai haknya.
Kesejahteraan
negara atau welfare state, baik sebagai konsep maupun model pembangunan
kesejahteraan, memiliki wajah yang beragam. Ia tidak vakum, melainkan dinamis
mengikuti denyut perubahan dan tuntutan masyarakat di negara yang bersangkutan.
Kesejahteraan negara tidaklah mati sebagaimana dimitoskan banyak orang. Ia juga
tidak hanya milik negara-negara maju secara ekonomi. Dengan political will,
komitmen dan visi yang jelas mengenai investasi sosial dan manusia,
negara-negara berkembang mampu menjalankan pendekatan pembangunan kesejahteraan
ini.
Good
Governance menjadi agenda utama dalam mewujudkan negara kesejahteraan (welfare
state) bagi bangsa yang merdeka. Good Governance meniscayakan pemerintah yang
akuntabel dan dan transparan yang siap melayani publik secara profesional.
Salah satu faktor penting dari meningkatnya kesejahteraan rakyat dalam suasana bangsa yang sudah merdeka adalah adanya pelayanan yang berkualitas dari pejabat pemerintah sebagai aparatur negara dalam melayani kepentingan publik
Salah satu faktor penting dari meningkatnya kesejahteraan rakyat dalam suasana bangsa yang sudah merdeka adalah adanya pelayanan yang berkualitas dari pejabat pemerintah sebagai aparatur negara dalam melayani kepentingan publik
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, R., Mengenang Sjahrir: Seorang Tokoh Pejuang Kemerdekaan yang Tersisihkan dan Terlupakan, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2010.
“Tipe-tipe
Negara”, www.google.com, 07 Januari 2012
“Konsep
Negara Kesejahteraan (Welfarestate)”,
http://www.kesimpulan.com/2009/04/konsep-negara-kesejahteraan-welfare.html, 07
Januari 2012
“Kewajiban
Negara Terhadap Kesejahteraan Rakyat”, http://masadmasrur.blog.co.uk/2008/11/27/kewajiban-negara-terhadap-kesejahteraan-rakyat-5119802/,
07 Januari 2012.
“ Peta dan
Dinamika Welfare State Di Beberapa Negara”,
http://www.policy.hu/suharto/Naskah%20PDF/UGMWelfareState.pdf, 07 Januari 2012.
“Masyarakat
Tanpa Kelas dalam Konsep Negara Kesejahteraan, Sebuah Harapan atau Utopia?”.
http://luthfihutomi.blogspot.com/2011/06/masyarakat-tanpa-kelas-dalam-konsep.html,
07 Januari 2012.
“Upaya
Peningkatan Kontrol Yuridis Dari Publik”,
http://cakimptun4.wordpress.com/artikel/upaya-peningkatan-kontrol-yuridis-dari-publik/,
07 Januari 2012
“Konsep
Negara Kesejahteraan (Welfarestate)”,
http://www.kesimpulan.com/2009/04/konsep-negara-kesejahteraan-welfare.html, 07
Januari 2012
Copyright by
Bambang Tri Sutrisno, SH.,
http://buumbum.blogspot.com/2012/01/tipe-negara-welfare-state.html
Comments